SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #7

7

Kakang saya tetap tidak menyusul ke toko. Namun, ketika saya sampai di kontrakan, ia tengah bersenda dengan mbah Reksa. Begitu tahu saya pulang, ia langsung berlari ke arah saya. Mbah Reksa hanya memonyongkan mulutnya dan berlalu ke dalam rumah utama. Saya tahu Kakang saya kelaparan. Maka, saya ambil makanan kucing di rak di dinding luar kamar. Ia nampak bersemangat dan menghabiskan banyak sekali makanan. Sudah itu, saya ambilkan air dan saya tuangkan ke dalam tempat biasa ia minum. Ia juga nampak bersemangat mencecap air yang saya tuangkan. Saya tinggalkan ia untuk membersihkan badan. Begitu usai membersihkan badan, saya lihat Kakang saya sudah tidak ada. Mungkin melayah lagi memburu betina.

Saya habiskan sore dengan membaca On The Road. Saya kurang bisa menikmati cara bercerita Jack Kerouac. Walaupun tipikal seperti penulis realis Amerika lainnya yang pernah saya baca, Hemingway masih lebih medingan. Mungkin karena teknik dalam On The Road adalah Prosa Spontan. Tapi entah kenapa menurut saya emosinya justru kurang kena dan terkesan bertele-tele. Saya membeli buku ini karena penasaran dengan kisah para Beat Generation untuk menemukan Amerika itu dan untuk menemukan kebaikan yang melekat pada diri manusia Amerika.1 Saya jadi teringat masa-masa ketika saya banyak menghabiskan waktu di jalanan dulu bersama teman-teman saya. Mungkin hampir sama. Cuma bedanya kami hanya berpetualang di wilayah kabupaten saja, atau sesekali ke Jogja. Kami berteater, berpuisi, bermusik dan terlibat dalam gerakan sosial dan budaya. Mungkin sama-sama sebagai pemuda yang gelisah dengan pencarian makna diri dan ketuhanan, terutama lewat kesenian kalau pada kasus kami. Tapi tentu saja tak ada pesta seks atau narkoba. Yah, kami cuma sesekali minum anggur atau vodka juga. Teman saya ada yang suka nonton video BF juga. Teater dan puisi dan musik yang kami mainkan memang bagian dari seni moderen. Tapi kami masih sebagai bagian dari orang Timur pedalaman yang dibesarkan dengan nilai moral ketimuran dan juga agama. Dan saya sedang tak mau bernostalgia. Saya memang tak begitu suka terlarut dengan masa lalu. Dan saya sulit juga terlarut dalam buku ini. Maka saya lepas kaca mata saya, dan saya taruh On The Road di rak sebelum menyentuh halaman yang lebih banyak.

Sebenarnya saya mau mengajak Kakang saya untuk makan malam bersama Geni. Tapi, mau gimana lagi? Kakang saya lebih mementingkan syahwatnya. Saya mau mereka berdua bisa akrab. Bagaimanapun saya butuh Kakang saya, dan juga Geni. Kalau mereka masih belum mau akrab, tentu akan menjadi ganjalan dalam hubungan kami bertiga. Biarlah besok saya coba bicara baik-baik sama Kakang saya. Atau nanti kalau mau pulang. Tapi sepertinya ia akan melayah semalaman.

Suara sepeda motor berhenti di halaman kamar kontrakan. Itu pasti Geni. Saya keluar dan menyambutnya.

“Gimana? Udah siap?”

Geni malah ngeloyor masuk kamar dan rebah di ranjang.

“Uh, capek.”

Saya lihat ia masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai tadi pagi.

“Boleh numpang mandi?”

“Tentu saja.”

Saya ambilkan handuk dan saya ulurkan padanya. Ia menerimanya dan menutupkannya ke wajahnya.

“Kita makan di sini saja, ya?”

“Oke.”

“Tapi aku capek. Mau masak apa?”

“Kamu mandi saja. Biar saya cari makanan di luar.”

Saya tinggalkan Geni di kamar. Saya beranjak memacu motornya untuk mencari makanan. Kali ini harus spesial. Saya menuju tenda Lamongan di satu pinggir jalan besar. Saya mesti mengantri banyak sekali karena tenda Lamongan ini memang terkenal enak. Tapi itu bukan satu hal yang mesti saya keluhkan. Hanya satu pengorbanan kecil. Saya mesti tabah. Saya menerima pesanan saya dan membayar sebelum kemudian dengan bersemangat kembali ke kamar kontrakan. Saya dan Geni akan makan besar dan dengan hati mekar.

Begitu saya sampai kamar, Geni tengah menyisir rambutnya di depan kaca. Rambutnya panjang tergerai dan hitam. Aroma wangi semerbak memenuhi kamar saya. Ia mengenakan t shirt saya. Nampak agak kebesaran, tapi malah enak dipandang. Ia juga memakai celana pendek kolor saya. Betis dan pahanya kencang kuning langsat. Degup jantung saya berlompatan. Saya tak tahu apakah ia juga memakai celana dalam saya.

“Aku tak tahu apa ada yang pas. Jadi aku ambil serampangan dari almari. Aku pinjam pakaian kamu, ya?”

“Pakai saja.”   

Saya letakkan plastik berisi bungkus makanan di sofa kecil. Sementara itu, Geni menyanggul rambutnya ke atas. Nampak lehernya yang jenjang. Degup jantung saya kembali berlompatan. Saya lepas jaket dan menggantungkannya di kapstok.

“Tak ada tempat. Kita makan di lantai saja, ya?”

“Iya. Santai aja, mas,” jawabnya sambil duduk bersila di lantai kamar menunggu saya. Saya ambil plastik bungkus makanan dan meletakkannya di lantai di antara kami berdua.

“Sebentar, saya mau cuci tangan dulu,” kata saya dan beranjak ke kamar mandi.

 Begitu kembali, saya dapati bungkus makanan yang telah ditata dan terbuka.

“Mari kita berdo’a,” ajaknya.

Kami diam mengambil do’a. Begitu usai, pelan saya mulai ritual nikmat dan kudus ini. Saya cuil daging lele yang masih panas. Saya tuangkan sambal. Saya suap pelan-pelan bersama nasi yang masih mengepul. Saya lengkapi dengan kemangi dan mentimun. Sungguh, nikmat mana lagi yang patut saya dustakan? Ritual nikmat dan kudus ditemani gadis cantik. Benar cantik wajah Geni tanpa make up. Saya amat suka.

Geni mengambil lele goreng dan melihatnya seperti melamun dan menggumamkan sesuatu. Tapi ia cuil juga dagingnya. Seperti saya, ia juga suka sambal dan lalapan. Satu suapan dan ia manggut-manggut.

“Enak,” katanya.

“Ini memang dari tenda Lamongan yang terkenal enak. Saya harus mengantri banyak.”

“Pantas aja agak lama tadi.”

“Ngomong-omong, ngapain aja kamu seharian tadi?”

“Bantu masak Bulik. Habis itu menemani sepupuku yang ulang tahun. Lucu tahu!”

“Kamu jadi badut?”

“Enggaklah. Aku jadi MC.”

“Dengan pakaian seperti itu?”

“Pinjem sepupuku. Aku sengaja nggak makan dari siang. Hanya nyemil sedikit aja. Padahal banyak makanan di sana.”

“Aku tersanjung.”

“Sudah semestinya.”

“Yaudah, habisin makanannya. Sengaja saya beli double tu.”

“Terima kasih. Segini sudah cukup kenyang.”

“Beneran?”

“He’em. Apalagi enak banget gini sambalnya.”

“Nih, mau tambahin punya saya?”

“Boleh.”

Saya tuangkan sambal dari dalam plastik ke sebelah nasinya.

“Sudah, cukup,” katanya sambil mengunyah.

“Sebentar,” kata saya.

“Ada apa?” tanyanya berhenti mengunyah.

Saya ulurkan tangan saya buat mengambil satu bulir nasi yang menempel di bibir bawahnya. Ia hanya diam saja. Saya ambil bulir nasi itu dan saya suapkan ke dalam mulutnya. Ia manut saja dan mengunyahnya. Saya tergoda buat mengusap bibirnya.

“Sebentar!” kata saya. Geni berhenti dari acara menguyah makanan.

Saya usap bibirnya dengan pelan dan lembut dengan ibu jari saya sementara jemari lain menahan dagunya. Ia hanya diam saja menurut.

“Kenapa?”

“Bibirmu lembut sekali. Manis.”

Ia hanya bengong.

“Udah, jangan bengong!”

“Kamu bikin aku malu.”

“Udah, habisin makannya!”

“Kalau gini mah juga udah bisa bikin kenyang.”

“Habisin makannya, Geni. Saya nggak mau kamu sakit.”

“Iya, iya. Kamu juga habisin makanannya, mas.”

Ritual nikmat dan kudus kali ini memang harus disempurnakan. Maka, saya ambil satu botol anggur dari rak almari bawah.

“Aku sudah menduga kamu akan mengambilnya, mas,” kata Geni sambil membereskan sisa makanan kami dan menaruhnya di keranjang sampah. Sementara satu bungkus yang masih utuh ia masukkan ke dalam plastik beserta ubo rampenya. Saya letakkan botol anggur di lantai beserta dua gelas kecil, lalu saya tutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.

“Apakah kamu memang sering minum anggur?” tanyanya.

“Tidak sering. Kalau pengen aja.”

“Sampai mabuk?”

“Enggak. Sampai jernih aja.”

“Kadang aku sampai mabuk.”

Saya buka tutup botol anggur dan menuangkannya ke gelas Geni, lalu ke gelas saya sendiri. Saya letakkan botol anggur dan saya ambil gelas saya dan menyodorkannya pada Geni. Geni juga menyodorkan gelasnya pada saya hingga gelas kami bertemu dan berdenting. Geni langsung menenggak gelasnya sampai tandas. Saya juga tenggak gelas saya sampai tandas.

“Sempurna,” kata Geni sambil merentangkan tangan, mengurai sanggulnya, dan bersandar di dinding kamar dan menyelonjorkan kedua kakinya. Saya terkejut melihat cap payudaranya di balik t shirt yang ia pakai. Rupanya ia tidak memakai penutup dada.

“Kenapa?” tanyanya. “Aku biasa begini kalau di rumah. Maksudku kalau di kamar mau tidur. Lebih leluasa.”

“Payudaramu bagus.”

“Terima kasih. Aku juga minjem celana dalammu tadi.”

Lihat selengkapnya