SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #8

8

Sesuatu yang berlebihan kadang bisa berakibat tidak baik. Sekalipun itu yang disebut hal-hal baik. Saya kira, orang memang mesti wajar-wajar saja menampa segala sesuatu yang datang padanya. Kebahagiaan pun, misalnya. Kebahagiaan yang disambut, diterima, dan dirayakan dengan berlebihan mungkin bisa saja membikin orang jumawa atau lena. Orang akan merasa tak membutuhkan hal lain lagi. Padahal roda hidup terus berputar, yang tentu saja suatu saat akan meluncurkannya pada titik terendah. Orang akan mudah tergelincir dari garis hidupnya dan terjerembab ke kubangan penyesalan. Untuk itulah orang mesti wajar menampa segala yang tiba padanya. Untuk itulah orang mesti sadar dan waspada.

Sepertinya saya tidur lebih lama dari biasanya. Saya terbangun dan mendapati Geni sudah raib. Saya cari-cari telepon genggam untuk melihat jam. Jam delapan lebih tiga puluh sekian. Saya beranjak dari ranjang dan mengambil handuk dan mengalungkannya di leher hendak menuju kamar mandi. Pintu sudah tidak terkunci. Saya melihat Kakang saya di beranda samping rumah utama. Ia tengah tengkurap sambil menatapi saya diam saja. Saya panggil Kakang saya. Ia tak menyahut, hanya terus menatapi saya. Saya ambilkan makanan dari rak. Saya tuangkan ke dalam wadah makanan. Ia tetap tak beranjak. Saya melihat sejenak Mbah Reksa mengintip dari balik kaca rumah utama, menatapi saya lalu menatapi Kakang saya lalu memonyongkan mulutnya lalu beranjak dari sana. Kakang saya tetap pada keadaannya. Saya hampiri Kakang saya. Saya duduk di undakan beranda samping rumah utama.

“Kamu nggak lapar, Kang?”

Kakang saya tetap diam saja. Ia hanya menatap saya sejenak lalu beralih menatap ke kekosongan.

“Gimana acara pacarannya, Kang? Sukses?”

Kakang saya tetap pada posisinya. Saya tak tahu ia sedang mengincar kucing mana. Saya belum pernah melihat ia berkencan di sekitar kontrakan. Ada satu dua kucing betina yang kadang bermain sampai kontrakan sini. Tapi, yang mana incaran Kakang saya, saya tak tahu. Barangkali Kakang saya tengah mengejar tak hanya satu betina. Mungkin karena gagal bersaing dengan kucing jantan lainnya. Saya sih jelas sedang memepet Geni seorang. Tapi, sepertinya Kakang saya terus saja ngambek dan tidak suka jika saya dekat dengan Geni. Maka, saya pun mengamini ucapan Geni yang mengira kalau Kakang saya memang sedang cemburu pada Geni.

“Geni orangnya baik.”

“Ia adalah perempuan tangguh dan berani.”

“Saya berniat untuk menjadikannya istri saya. Saya sudah melamarnya. Yah, meski ia belum mengiyakan dengan sungguh-sungguh. Ia minta saya menunggu. Rupanya ia punya kekasih, Kang. Tapi setidaknya, ia mau dekat berhubungan dengan saya. Sampai saat ini, saya rasa itu cukup. Saya butuh teman hidup manusia yang langgeng, Kang. Setidaknya sampai saya tua dan mati nanti. Saya harap kamu mengerti, Kang. Lihat, saya tak pernah melarang kamu kawin, Kang. Seperti kamu, saya juga ingin berketurunan.”

Kakang saya menatap saya dan lalu merundukkan moncongnya di atas kedua kaki depannya. Saya senang kalau itu adalah tanda bahwa hatinya luluh dan mengerti keadaan saya. Saya ingin mengelus leher dan punggungnya, tapi tak jadi saya lakukan. Saya hanya bisa berkata, “Makan, Kang. Kawin juga butuh tenaga.” Saya lalu beringsut ke kamar mandi.

Mandi juga adalah ritual kudus. Dengan mandi, berarti saya peduli dengan kebersihan dan kesehatan tubuh saya. Lebih dari itu, mandi juga bikin saraf jadi rileks. Berarti mandi juga berfaedah bagi kesehatan jiwa. Terutama bagi jiwa yang banyak dosa seperti saya. Karena itulah, seperti makan dan sembahyang, memang tepat kalau mandi juga dibikinkan jadwal rutin. Maka, saya pun memulai ritual membersihkan dosa-dosa saya dengan khusyuk dan tertib. Saya bersihkan bawah pusar saya dengan sabun. Sudah itu, saya ambil wudhu. Habis wudhu, saya mulai menyiram tubuh saya pelan dimulai dari tubuh bagian kanan sebanyak tiga gayung. Lalu tubuh bagian kiri tiga gayung. Saya kira itu tepat. Sebab jantung terletak di tubuh bagian kiri. Jika saja tubuh bagian kiri langsung disiram air, maka tentu akan shock. Atau jika langsung menyiram leher atau kepala, tentu saraf yang menuju otak atau otak itu sendiri akan shock juga. Itu tentu tidak baik. Jantung dan otak adalah organ vital. Baru setelah menyiram tubuh, saya menyiram kepala saya pelan. Tentu dikasih jeda dulu beberapa saat. Sungguh terasa segar sekali ritual kudus ini. Saya cuci rambut saya dengan shampo. Saya gosok seluruh tubuh saya dengan sabun sambil berharap bahwa dosa-dosa saya nglothok dan luntur bersama semua daki yang menempel di tubuh saya. Terakhir, saya bilas pelan rambut dan seluruh tubuh saya beberapa gayung. Mandi dengan baik dan benar sungguh bikin saya menjadi lebih baik. Saya keluar dari kamar mandi seperti dengan mengenakan jiwa baru. Maka, saya rayakan dengan siulan bahagia menirukan lagu-lagu bahagia yang pernah saya dengar dan saya suka. Saya semakin terasa bersemangat saat menyaksikan makanan kucing yang saya tuang di wadah habis tanpa bekas. Saya anggap Kakang saya mau mengerti keadaan saya. Saya cuma heran bahwa Kakang saya tak tampak batang hidungnya. Ah, mungkin ia sedang mengencani betinanya, pikir saya. Saya masuk kamar masih dengan siulan yang sama. Saya memakai baju juga masih dengan siulan yang sama. Saya bercermin dan mematut-matut diri juga masih dengan siulan yang sama. Saya membenahi ranjang juga masih dengan siulan yang sama. Saya memberesi sampah di keranjang sampah juga masih dengan siulan yang sama. Saya mengambil sapu lalu menyapu lantai kamar masih dengan siulan yang sama. Saya membuang sampah dan kotoran lain ke tong sampah di samping barat kamar juga masih dengan siulan yang sama. Saya terus saja bersiul, seolah-olah makhluk tanpa dosa dan manusia paling bahagia sedunia. Saya berhenti bersiul ketika menyadari semua pakaian kotor saya di keranjang yang saya khususkan untuk menaruh pakaian kotor raib semua. Tak mungkin Geni mencuri pakaian kotor. Lalu saya ingat kalau semalam dia bilang bahwa dia akan mencuci pakaian kotornya. Saya bergegas ke tempat jemuran di timur dapur bersama. Saya justru bertemu Mbah Reksa yang berjalan dari arah sana menenteng sapu sambil geleng-geleng kepala dan menatap saya berganti-ganti.

“Pagi, mbah,” saya menyapanya.

Mbah Reksa tak membalas sapaan saya. Ia terus saja menggeleng dan sesekali berdecap. Saya terus menuju tempat jemuran. Saya hanya sedikit kaget dan tersenyum malu menyaksikan penutup dada dan celana dalam wanita berwarna merah muda bergantungan di ujung tali jemuran bersama deretan pakaian saya. Saya memang senang pakaian saya dicuci Geni. Tapi, saya khawatir kalau Mbah Reksa akan mengusir saya. Yah, mau gimana lagi. Geni telah membuka kedok kami secara tak sengaja kepada Mbah Reksa tanpa bisa saya cegah. Tapi, saya pikir saya tak perlu sungkan lagi. Semua telah terjadi. Untuk apa disesali? Jika akhirnya Mbah Reksa akan melaporkan kepada pemilik kontrakan kalau saya telah berani mempersilakan seorang gadis menginap di kamar saya dan kemudian pemilik kontrakan akan mengusir saya, biarlah saya terima dengan tabah dan lapang dada. Saya akan mempertanggung jawabkan perbuatan saya. Saya adalah seorang gentleman, bukan laki-laki begajulan dan tak bertanggung jawab. Tapi itu, nanti jika memang benar Mbah Reksa mengusir saya atau melaporkan hal ini pada pemilik kontrakan.

Saya hendak berangkat ke toko ketika telepon genggam saya berbunyi. Saya angkat telepon dari Geni.

“Mas, bisakah aku minta tolong ditemani? Motorku ngadat.”

Tanpa berpikir panjang seperti ikan, saya menyanggupi, “Tentu saja. Saya akan tiba di sana sebentar lagi.”

“Mas udah mandi?”

“Sudah ganteng, nih.”

“Baiklah. Aku tunggu, ya?”

“Oke. Share lock, ya.”

“Oke.”

Saya menyingkirkan perkara untung rugi jika saya tak membuka toko. Bagaimanapun, saya mesti melakukan effort yang ekstra demi mendapatkan Geni. Lagi pula dia adalah tujuan saya saat ini. Maka, sudah sepantasnya saya melakukan apa saja demi merebut hatinya. Maka, saya ambil vespa di dapur bersama. Saya selah dan menghidupkan mesinnya. Tak ada ganjalan. Saya senang. Memang meski jarang saya pakai, tapi sesekali saya panasi juga. Kali ini juga saya panasi beberapa saat, sebelum melesat dengan gagah seperti pangeran menjemput gadis pujaannya.

Saya cepat sampai di depan rumah Geni karena ternyata letaknya tidak begitu sulit dan tidak jauh. Rumah tampak sepi, tapi pintu rumah sedikit membuka. Motor geni seperti sedang ngambek di beranda. Saya turun dari vespa dan beranjak mengetuk pintu.

“Permisi,” saya menyapa sambil mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Saya tunggu sebentar di depan pintu. Tetap tak kunjung ada jawaban. Saya ambil telepon genggam dan menelepon Geni. Tidak tersambung. Saya kirim pesan, ”Geni, saya sudah sampai depan pintu.” Terkirim tapi belum dibaca dan dibalas. Saya menunggu beberapa saat. Saya telepon lagi. Kali ini diangkat.

“Halo, mas. Udah sampai mana?”

“Udah di depan pintu, Geni.”

“Ya, ampun. Masuk aja, mas.”

Terdengar langkah kaki menuju saya. Geni nampak cantik dan anggun dengan setelannya.

“Maaf, ya, mas. Mas udah sarapan?”

“Belum.”

“Ayok, mas sarapan bareng.”

“Bapak udah berangkat?”

“Udah.”

Saya mengikuti Geni beranjak ke ruang makan. Saya melihat isi ruang tamu dan ruang keluarga selayaknya orang kampung lainnya. Tak ada yang cukup spesial.

“Maaf, ya mas. Tadi sedang telepon.”

“Sampai nggak dengar pintu diketuk.”

“Iya, mas. Habis ribut.”

“Sama siapa?”

“Biasa, mas. Mas Bayu.”

Ada rasa sedikit cemburu pada saya ketika Geni menyebut nama itu.

“Dia bersikeras saya tetap di Malang dan mencari kerja di sana,” Geni menambahkan.

“Kenapa kamu nggak turuti saja?”

“Aku ingin menemani ayah, mas. Aku sudah bosan di sana.”

“Bosan sama dia?”

“Jangan bercanda, mas.”

“Maafkan. Ngomong-omong, masak apa kamu?”

“Biasa, mas. Masakan kampung. Tu lihat!”

“Wah, rupanya kamu bisa masak juga, ya?”

“Biasa aja, mas. Cuma sayur, goreng tempe, dan sambal bawang.”

Lihat selengkapnya