Kebahagiaan yang saya rasakan dalam berhubungan dengan Geni yang saya anggap sebagai satu kewajaran menilik dari persamaan kesepian kami yang menemukan kecocokanya pun hampir membuat kami lena. Tentu saja saya merasa lega bahwa saya tidak sampai terjerembab. Setidaknya untuk saat ini. Saya tak menyangka bahwa bapaknya Geni akan pulang kerja begitu cepat. Mungkin Geni juga menyangka demikian. Mungkin ada sesuatu yang tak beres menilik bagaimana reaksi beliau atas kegiatan menggambar yang saya lakukan bersama Geni. Begitu juga bagaimana beliau lalu masuk kamar dan tidak keluar lagi setidaknya untuk menyapa saya atau menerima sapaan saya. Saya rasa beliau tahu bahwa saya dan Geni habis menggambar bersama-sama di kamar Geni sampai kelelahan. Tapi, kenapa beliau seolah acuh dan terkesan permisif? Apa memang begitu sikap seorang pemain perempuan?
Pertanyaan yang membikin saya merenung sepanjang perjalanan mengantar Geni untuk melamar pekerjaan itu tak kunjung terjawab. Alhasil, saya hanya diam saja ketika Geni berusaha menjelaskan ini itu mengenai bagaimana ia mendapatkan informasi lowongan pekerjaan jadi guru, atau bagaimana ia mempersiapkan segala dokumennya, atau betapa senangnya bahwa ia akan mengajar anak-anak SMP, dan lain sebagainya. Semua itu hanya seperti masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Saya hanya mengiyakan atau mendehem atau bilang, “O, iya to?”
Geni sendiri tak kunjung mau membahas hal yang berhubungan dengan kejadian pagi tadi. Namun, mungkin karena Geni merasa saya ada pikiran, akhirnya ia hanya diam mempererat pelukannya di boncengan sampai kami tiba di tujuan.
Geni turun dari boncengan begitu kami sampai tempat parkir. Ia melepas tas gendong dan jaketnya. Jaket ia berikan pada saya, kemudian mengambil dokumen dalam tasnya dan menelitinya.
Sekolah ini tampak megah dan luas. Tentu saja karena sekolah ini adalah sekolah swasta yang konon kata orang terkenal lumayan mahal. Sekolah ini memang terkenal karena bagian dari pondok pesantren yang terkenal besar di Tegalrejo.
Sementara itu, Geni sudah siap dengan dokumennya.
“Tak ada yang kelewatan?”
“Lengkap, mas.”
“Geni, jangan lupa berdo’a. Jangan plirak-plirik. Kamu musti pede. Itu menciptakan kesan yang baik.”
“Iya, mas, terima kasih. Akan kucoba. Aku sudah banyak berubah kan semenjak mengenalmu, mas. Mas juga tahu kan kalau sebenarnya aku bisa riang dan luwes kalau sudah kenal dan akrab?”
“Itu tentu baik. Nah, biar aku tunggu di bangku itu.”
“Iya, mas. Aku masuk dulu, ya.”
Geni mencium tangan saya seolah saya ini suaminya atau kakaknya atau bapaknya. Saya lepaskan Geni dan membiarkannya berjalan masuk ke kompleks sekolah yang megah ini.
Saya lalu menuju satu bangku di taman dan mengeluarkan rokok. Tak banyak yang bisa saya lakukan. Maka setelah menghabiskan sebatang rokok, untuk menghabiskan waktu, saya mencoba menghampiri satpam di pos jaga.
“Assalamu’alaikum. Permisi, pak.”
“Wa’alaikum salam. Ya, mas. Ada apa, ya?”
“Bolehkah saya pinjam korek?”
“Oh, maaf mas. Tidak boleh merokok di area sini, mas.”
“Oh. Maaf, pak. Ngomong-omong, ramai juga ya tahun ajaran baru?”
“Ya, mas. Biasa kalau sini tu. Masnya siapa?”
“Oh, saya cuma mengantar teman saya mendaftar jadi guru. Masnya pasti santri, ya?” tanya saya pada seorang pemuda yang menemani pak satpam. Pemuda ini memakai sarung dan peci.
“Ya, mas. Sedang mengabdi.”
“Ngomong-omong, bagaimana ceritanya sebuah pondok salaf kemudian mau membuka sekolah formal yang moderen, mas?”
“Saya kurang tahu tepatnya, mas. Mungkin karena berusaha menyesuaikan dengan perubahan zaman. Dan juga mengakomodir kebutuhan para santri sendiri agar tidak perlu mencari sekolah formal lain saat harus sekolah sambil mondok.”
Tentu saja memang benar begitu. Tentu saja saya tahu kalau itu juga adalah pasar yang sangat besar. Bayangkan ribuan santri yang akan menyetor uang kepada sekolah ini. Itu akan menjadi dana bergerak yang sangat baik dan memberi keuntungan yang besar bagi pondok. Saya rasa, itu langkah yang bisa dibilang berani dan cerdas. Mereka mampu menyadari potensi dan tanggap dengan perkembangan zaman. Itu juga salah satu sikap yang wajar. Kesadaran akan keberadaan diri dan kemudian mengambil langkah yang tepat seperti itu memang menguntungkan. Namun, saya tak memberikan komentar mengenai hal itu kepada mereka berdua.
“Mas, itu dicari temannya.”
Saya menoleh ke arah yang ditunjuk mas santri dan melihat Geni tengah melambai-lambaikan tangannya pada saya.
“Yaudah, saya pamit, pak, mas. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alikum salam.”
Saya berjalan ke arah tempat parkir menuju Geni.
“Cepet, amat,” kata saya begitu sampai.
“Iya, mas. Kan cuma memasukkan dokumen? Pelayanannya bagus, mas.”
“Kita pulang?”
“Baiknya begitu. Ayah kelihatan sedang tidak baik. Aku akan menemaninya.”
“Oke.”
Kami meninggalkan sekolah ini dan mengambil rute yang sama dengan saat berangkat untuk pulang. Geni banyak diam. Mungkin karena kepikiran bapaknya. Saya juga banyak diam karena kembali dihantui pertanyaan yang berhubungan dengan kejadian di rumah Geni tadi pagi.
Saya hanya sampai di pinggir jalan saat menguntabkan Geni untuk kembali ke rumahnya.
“Sampai sini aja, ya? Tak enak sama bapak.”