SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #10

10

Selain tangis, tidur juga merupakan obat yang mujarab untuk mengeluarkan racun. Bahkan tidur tak hanya mengeluarkan racun jiwa, tapi juga racun biologis. Itu menurut satu artikel yang pernah saya baca. Meskipun saya rasa, saya tak ada banyak racun bilogis dalam tubuh saya yang berbahaya, dan juga pertanyaan-pertanyaan tentang Geni bukanlah racun jiwa yang berbahaya, setidaknya untuk saat ini; tapi saya rasakan tubuh dan jiwa saya lumayan segar bugar ketika bangun tidur keesokan harinya.

Saya putuskan untuk melakukan kebiasaan saya yang belakangan ini saya abaikan. Saya lalu memulai shalat Subuh. Usai shalat Subuh, saya putuskan untuk lari pagi. Seperti acara lari pagi yang sudah saya lakukan sebelumnya, saya memulai dengan pemanasan. Setelah saya rasa cukup, saya lanjutkan dengan menyusuri trotoar. Orang-orang lewat saya sapa secara sederhana seperti biasa. Bangunan-bangunan saya pandangi sekilas seperti biasa. Nah, ketika saya sampai trotoar depan toko saya hanya beberapa langkah dari gedung TK, saya berhenti sejenak, dan berdo’a, “Toko saya, maafkan saya, kamu mungkin akan agak terbengkalai hari-hari ke depan. Saya lagi ada tugas negara, memepet Geni calon istri saya. Nah, kita musti bekerja sama. Kamu jangan ngambeg. Tetaplah menjadi lumbung uang buat saya. Besok kalau udah buka lagi, saya akan menyapu dan membersihkan kamu seperti biasa. Dan kita akan menarik uang dari orang-orang dengan berkah dan lancar. Katakan pada mesin pengganda, jangan rewel, jangan ngadat dan berkarat. Katakan pada Marilyn Monroe, jangan cemburu seperti Kakang saya. Juga pada semuanya, saya harap baik-baik saja dan tetap bahagia. Nah, saya mesti lanjutkan lari pagi saya. Semangat, ya!” saya elus-elus rolling door toko saya dan melanjutkan acara lari pagi saya sampai ke jalan membelok ke barat atau ke kiri yang mengitari pabrik kertas yang telah bangkrut seperti kata bapaknya Geni tersebut. Tentu saja saya beralih turun ke jalan ke pinggirannya karena jalan ini tak ada punya trotoar. Acara lari pagi saya kali ini cukup lancar dan napas saya tidak begitu memburu. Saya terus menyusur jalan dan berlari di pinggirannya sampai kemudian berbelok ke kiri berlawanan arah dengan jalan yang menuju ke Gardu Pandang di punggung Merapi sana. Saya terus menuruti langkah kaki saya. Nah, itu adalah perempatan di mana bangjo membagi waktu tempuh bagi kendaraan dan pejalan yang mau ke Magelang atau Semarang ke arah kanan, dan ke Jogja ke arah kiri. Karena rute saya adalah menuju kembali ke kontrakan, maka saya mengambil arah kiri. Karena pinggir jalan Magelang-Jogja ini memiliki trotoar dan karena saya tak mau ambil resiko bila seandainya kesenggol kendaraan bila saya mengambil jalur pinggir jalan besar ini, maka saya hanya menyusur trotoar saja. Saya memperlambat lari saya dan menengok sebelah kiri karena di situlah terlihat dengan jelas kompleks pabrik kertas tempat bekerja bapaknya Geni yang kata beliau benar-benar bangkrut. Saya terus melangkahkan kaki saya dan sesekali menengok kompleks pabrik kertas tersebut. Bagian depan adalah perkantoran, sementara di belakang sana menjulang tempat produksi. Saya sampai di pintu gerbang pabrik kertas dan melihat plang besar mencolok bertuliskan “Dalam Pengawasan yang Berwajib” di samping plang nama pabrik kertas tersebut. Oh, jadi benar kata bapaknya Geni bahwa pabrik kertas ini memang bangkrut.

Saya jadi kepikiran bagaimana roda ekonomi keluarga Geni akan berputar. Apakah beliau dapat pesangon? Apakah yang akan dilakukan bapaknya Geni selanjutnya buat mencari nafkah? Kerja apa yang patut untuk dilakukan oleh lelaki paruh baya? Keterampilan apa yang ia punya? Tentu merayu perempuan bukanlah keterampilan yang bisa menghasilkan uang, tapi justru malah menghambur-hamburkannya. Seandainya pun beliau akhirnya mau jadi gigolo, mengingat bahwa beliau adalah pemain perempuan seperti yang dikatakan Geni, apakah akan laku, mengingat usia beliau yang tak lagi belia? Aduh, mengapa saya jadi membayangkan hal-hal buruk seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan tentang Geni sendiri belum bisa saya jawab. Kini timbul pertanyaan-pertanyaan baru soal bapaknya Geni. Tapi, mengapa saya musti repot memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Tapi kan saya telah memilih untuk terlibat dengan apa pun yang berkaitan dengan Geni? Menerima Geni berarti menerima semua hal yang berkaitan dengannya. Karena bapaknya jelas adalah keluarga Geni, maka saya pun mau tidak mau harus menerimanya. Jadi, saya rasa bantuan saya ke Geni lewat bapaknya kemarin adalah sudah tepat. Juga bantuan saya buat bayar ojek dan mengambil motor di bengkel. Saya jadi merasa agak ringan. Saya jadi merasa seperti pahlawan. Maka saya bersemangat memperlaju lari saya. Bank biru telah terlampaui, lalu saya menyusuri trotoar di bekas stasiun. Habis itu saya belok kiri masuk jalan melingkar pabrik kertas menyusuri trotoar yang ada di kanan jalan. Trotoar ini berbatasan langsung dengan kompleks perumahan para eksekutif pabrik kertas. Kalau bapaknya Geni tidak berumah di sini, berarti beliau bukan bagian dari eksekutif pabrik kertas. Sudah karyawan rendahan, diPHK pula. Tapi tenang, ada saya yang siap menopang. Nah, depan itu adalah kantor Polisi Sektor. Sebentar kemudian saya melewatinya dan berbelok ke gang setelahnya. Saya pelankan lari saya dan berubah menjadi jalan kaki biasa begitu memasuki halaman kontrakan. Saya maju sedikit serong kanan dan memasuki halaman kamar kontrakan.

Kakang saya nampak sedang menjilati bulu tubuhnya di sofa kecil panjang beranda kamar. Mbah Reksa tak kelihatan. Saya lepas sepatu saya dan mengambil sandal dan duduk di samping Kakang saya untuk pendinginan dan mengeringkan keringat yang entah kenapa tetap tidak terlalu banyak keluar. Mungkin karena saya jarang berolah raga.

“Sukses, Kang pacarannya?”

“Saya rasa saya akan semakin dekat berhubungan dengan Geni, Kang. Geni saat ini butuh saya buat menopangnya. Geni belum kerja. Bapaknya Geni kena PHK. Kamu sendiri tahu kan kemarin bapaknya Geni mendatangi kita? Oiya, kenapa kamu begitu suka dengan bapaknya Geni?”

Kakang saya terus saja melakukan acaranya menjilati bulu tubuhnya. Saya berinisiatif untuk memberinya makanan. Saya ambil makanan kucing di rak. Begitu mendengar suara kemresek, Kakang saya sontak menghentikan acaranya menjilati bulu tubuhnya dan mulai mengiau-ngiau. Saya tuangkan makanan ke dalam wadah. Kakang saya dengan bersemangat melahapnya. Saya masuk ke dalam kamar mengambil telepon genggam untuk menghubungi Geni. Telepon tidak tersambung. Saya kirim pesan kepada Geni, “Geni, selamat pagi. Pagi ini kamu pasti cantik sekali. Jangan lupa mandi dan gosok gigi. Jangan lupa ganti penutup dada dan celana dalamnya dan dicuci, ya biar bersih dan wangi. With love.” Hanya centang satu. Akhirnya saya taruh telepon genggam dan mengambil handuk.

Usai mandi, saya dikejutkan dengan kedatangan Geni. Motornya telah terparkir di halaman kamar kontrakan. Geni tengah duduk mencangkung di sofa kecil panjang beranda kamar. Sementara itu, Kakang saya tak tampak batang hidungnya.

“Geni, kenapa tidak masuk?”

Geni hanya tersenyum kecil memandang saya lalu bertanya, ”Udah dibaca bukunya?”

“Ya, ampun. Saya lupa. Bentar.”

Saya berbalik arah menuju dapur bersama dan mengambil buku pemberian Geni di bagasi depan vespa saya. Saya lalu kembali pada Geni dan masih mendapati Geni mencangkung di sofa kecil panjang beranda kamar.

“Ayo masuk. Kita bahas di dalam,” ajak saya.

“Enggak, mas. Aku masih ingin menikmati belaian angin.”

“Oke,” kata saya lalu masuk ke kamar dan meletakkan buku pemberian Geni di meja kamar. Saya cepat memakai baju dan celana pendek, lalu keluar menemui Geni.

“Tumben, pagi-pagi udah nyampe sini. Ada apa?”

“Mas, ayah diPHK.”

“Benarkah?” saya pura-pura terkejut.

“Dapat pesangon sih, entah berapa aku nggak tahu. Aku cuma khawatir ayah akan kerja apalagi nanti. Ayah sudah cukup tua.”

“Pasti ada jalan.”

“Uangku juga udah berkurang banyak, hampir habis buat ngurus pindahan barang kemarin. Buat ngurus pendaftaran. Buat kebutuhanku yang lain. Mas, mau nemenin saya nggak? Aku mau periksa.”

Saya malah kepikiran soal uang pendaftaran yang diminta dari saya oleh bapak Geni. Jadi bapaknya Geni memang telah bohong pada saya.

“Mas, kok malah ngelamun?”

“Oh, gimana tadi?”

“Saya mau periksa, mas. Mas mau nggak nemenin saya periksa?”

“Periksa apa? Di mana?”

“Aku ini sebenarnya sakit jiwa, mas.”

“Kamu sakit apa?”

“Panjang ceritanya. Intinya aku ini bisa dibilang seorang ODGJ.”

“Apa itu?”

“Orang Dengan Gangguan Jiwa.”

“Apa diagnosa tepatnya?”

“Berubah-ubah, mas. Terakhir Anxiety1 dan Psikosomatis.2

“Apa yang kamu rasakan sekarang?”

“Mas mau jadi dokter?”

“Geni, saya mau tahu apa kamu baik-baik saja sekarang?”

“Aku baik-baik saja, mas. Hanya sedikit bad mood.”

“Bener kamu nggak papa?”

“Bener, mas.”

“Yaudah. Kapan periksanya?”

“Pagi ini, mas.”

“Yaudah ayo berangkat.”

“Mas nggak papa nggak kerja?”

“Selagi sehat, uang masih bisa dicari.Yang penting, kamu sehat dulu.”

“Aku sehat, mas. Hanya kalau malam suka mimpi buruk dan kebangun lalu jantungan kalau nggak minum obat.”

“Tapi kamu nggak kebangun kemarin-kemarin waktu nginap sini.”

“Aku juga nggak tahu, mas. Mungkin karena aku sangat bahagia kemarin.”

Lihat selengkapnya