SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #12

12

Sampai saat saya menunggui toko menjelang Dluhur, tak ada balasan pesan dari Geni. Saya justru kedatangan si pemilik toko lagi. Dia masih dengan tujuan yang sama. Intinya saya musti segera membayar sewa toko bulan kemarin. Saya tak bisa berkata banyak selain bahwa saya akan membayarnya segera. Sebenarnya saya agak bingung juga mau mencari uang ke mana buat membayar sewa toko. Jika mengandalkan uang dari hasil toko per harinya, tentu akan butuh waktu lama, setidaknya mungkin sampai bulan ini berakhir. Tapi, mengingat gelagat si pemilik toko yang sepertinya tidak sronto, saya kudu memikirkan cara lain untuk mendapatkan uang sejumlah dua ribu secepatnya. Namun, sampai tiga puluh menit setelah adzan Dluhur berakhir, saya tak juga mendapatkan satu jalan yang mudah dan cepat. Saya malah dikejutkan dengan kedatangan Geni yang tiba-tiba dan dengan raut wajah yang sangat gelisah.

“Mas, mas Suwung diminta bapak buat datang ke rumah.”

“Geni, ada apa? Kenapa kamu kelihatan sangat gelisah begitu?”

“Mas, Suwung. Kenapa mas Suwung nggak ngedengerin aku?”

“Geni, dengerin apakah?”

“Mas Bayu di rumah sekarang, mas.”

“Bayu? Kenapa dia di sini?”

“Dia mau bicara sama kamu, mas.”

Saya baru menyadari kejadian yang sebenarnya. Tentu si Bayu sialan itu telah membaca pesan yang saya kirim kepadanya lewat telepon genggam Geni. Tapi, secepat itukah dia datang? Dan untuk apa? Bukankah saya hanya meminta agar ia merelakan Geni buat menjadi istri saya? Bukankah secara jujur dan tulus saya bilang bahwa saya hanya akan membikin Geni bahagia? Apakah Bayu datang buat memberikan restunya pada saya dan mengakui kekhilafannya bahwa ia telah membikin Geni menderita?

“Baiklah, Geni. Kapan saya harus datang?”

“Sekarang, mas. Tapi mas Suwung mesti dengerin aku sekarang ini, mas. Dan jangan gegabah.”

“Baik. Saya dengarkan kamu sekarang.”

“Janji?”

“Saya janji.”

“Mas, aku mohon mas Suwung jangan bilang kalau aku pernah nginap di tempat mas Suwung.”

“Baik.”

“Mas Suwung juga jangan ngelawan kalau mas Bayu main tangan.”

“Tapi, saya tak mungkin diam saja kalau tubuh saya disakiti, Geni.”

“Aku mohon, mas. Mas Bayu orangnya kasar dan nekat, mas. Dia akan semakin brutal kalau ditanggapi dan dilawan. Kalau kita diam, dia akan berhenti. Kasih makan saja egonya, mas. Kita bisa lebih aman. Aku nggak mau ada keributan di rumahku, mas. Aku malu kalau harus jadi tontonan dan bahan gosip.”

“Tapi, saya ini lelaki, Geni. Mana mungkin saya diam saja kalau dipukuli?”

“Aku mohon, mas. Demi aku. Ya?”

Bagaimana ini? Mana mungkin saya mau diplekotho dan diam saja tidak melawan? Rasa-rasanya seperti berkubang di comberan, hilang harga diri sebagai lelaki. Tapi, itu adalah permohonan Geni. Bagaimana mungkin saya menolak permohonan Geni?

Jadi, selama ini Geni hanya diam saja kalau Bayu main tangan? Mengapa selama ini ia tidak cerita soal itu? Jadi, sekasar itu Bayu pada Geni? Pada seorang perempuan? Tak tahu malu. Ingin saya hajar si lelaki tak tahu malu ini. Tapi bagaimana mungkin? Geni sendiri memohon pada saya agar saya tak melawan. Saya seperti sudah kalah sebelum berperang. Tapi, begitu melihat telapak tangan Geni nampak basah dan bibirnya gemetaran dan perhatiannya sudah tak lagi fokus, saya jadi tahu kalau Geni sedang mengalami kecemasan. Dan itu tak baik. Maka saya kemudian hanya bisa mengiyakan semua permohonannya pada saya. Maka, saya hanya berusaha membuatnya agar tetap tenang.

“Geni, tenangkan dirimu. Ambil napas dalam-dalam. Keluarkan pelan-pelan. Oke?”

Saya ambil tangan Geni untuk membantunya agar lebih tenang. Saya ingin memeluknya, tapi itu tak mungkin saya lakukan di tengah siang bolong seperti ini.

“Kamu tenang dulu. Oke?”

Saya lalu membimbing Geni masuk ke toko dan meminta ia duduk di kursi. Saya ambil botol air dan memintanya minum. Geni menerimanya dan meminumnya. Saya biarkan ia menenangkan diri tanpa saya ganggu. Setelah saya rasa ia telah cukup tenang, saya lalu mendekatinya.

“Geni, ceritakan gimana kejadiannya sampai Bayu nekat datang ke sini.”

 Geni mengambil napas panjang.

“Aku tak menyalahkanmu, mas. Kalau aku jadi kamu, aku pasti melakukan hal yang sama.”

“Jadi kapan Bayu tiba?”

“Tadi pagi, mas. Kemarin seharian kami bertengkar hebat. Makanya aku tak sempat dan bingung harus membalas pesan-pesan kamu. Sore ia nekat berangkat dari Malang membawa serta pakdeku dan pamannya yang ada di sana.”

“Ada di sana?”

“Sebenarnya mas Bayu tu bukan orang Malang, mas.”

Lihat selengkapnya