SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #13

13

Apa yang salah antara hubungan saya dengan Geni? Kami adalah dua manusia kesepian yang menemukan kecocokannya. Kami menjadi satu karena tak ingin terpenjara dalam kubangan masa lalu yang membikin dungu. Kalau kami secara sukarela mau menggambar bersama, bukankah itu sebentuk pernyataan cinta dan kasih yang tulus dan sempurna? Bukankan kami sama-sama manusia dewasa yang saling mencinta? Ah, cinta. Saya malah belum sempat mengatakan pada Geni bahwa saya sesungguhnya teramat mencintainya. Tentu saja saya sangat mencintainya. Tapi, bahkan hubungan kami lebih dari sekedar hubungan cinta. Hubungan kami adalah pertalian yang sangat erat dan tumbuh di antara rasa saling membutuhkan. Saya butuh Geni sebagai lokus untuk menyelesaikan kesepian saya, sebagai istri saya. Geni butuh saya sebagai tempat untuk bersandar untuk lepas dari bayang-bayang masa lalu yang membikin trauma, hampa, dan menderita.

Saya memang gegabah dan tak mendengar omongan Geni kalau saya tak perlu ikut campur menyelesaikan hubungan Geni dengan Bayu. Tapi, hati siapa yang tak iba melihat Geni harus selalu tertekan? Bukankah Geni sendiri sudah menderita gangguan jiwa? Mana mungkin saya tega ia terus hidup dengan kecemasan demi kecemasan yang tentu akan menghambat gerak hidupnya? Bukankah Geni berhak untuk hidup bahagia? Bersama saya Geni bilang sendiri kalau ia amat bahagia dan ingin hidup seperti itu selamanya.

Geni tak pernah bilang kalau ia sudah bertunangan. Selama bertemu dengan saya, saya tak pernah melihat ia memakai cincin di jari manisnya. Andakata ia memang telah bertunangan pun, apakah itu terjadi atas kesadarannya? Mengingat ia bilang sendiri kalau Bayu itu nekat dan kasar dan tak sungkan main tangan. Apa mungkin ia mau menerima ikatan semacam itu? Geni adalaha gadis pintar, gadis yang jenius dari jenisnya. Tak mungkin ia melakukan hal sembrono yang berhubungan erat dengan jalan hidupnya seterusnya. Apa mungkin Bayu telah berbohong sebagai alasan untuk menutupi hubungannya yang toxic tersebut? Bayu adalah pemuda arogan yang nekat dan penuh amarah dan tak sungkan main tangan. Itu yang sudah saya saksikan dan saya alami sendiri dalam pertemuan kami yang singkat dan buruk.

Tentu saja tubuh saya sakit. Pelipis kiri dan mata dan mulut dan hidung dan pipi saya masih memar. Kepala saya terasa pusing. Untung tidak sampai retak dan gegar. Leher saya, tangan saya, punggung, perut, pinggang, kaki saya banyak memar dan biru dan nyeri. Untung saja celurit yang sempat saya sorong ke kolong kursi itu tak dipakai buat membacok atau menebas leher saya. Untung saja Geni lekas keluar dan menghentikan mereka.

Tapi, lebih dari semua sakit fisik itu, saya merasa lebih sakit jantung saya. Saya disebut perusak pagar orang. Tentu saja saya tak terima. Saya hanya mau mengentaskan Geni dari satu hubungan yang toxic. Geni dan saya sama-sama sadar dan sukarela mengikatkan diri. Kami bahkan sudah berancang-ancang menikah dan membikin anak yang banyak agar rumah tangga kami ramai dan kami tidak lagi cemas dan kesepian, agar masing-masing kami tak lagi hampa. Sementara Bayu sialan itu cuma terus-menerus memberi racun pada Geni. Siapa yang sebenarnya merusak pagar orang? Bayu tidak hanya merusak pagar orang, ia bahkan menyiksa dan menutup gerak hidup Geni. Apa ia tahu kalau Geni menderita gangguan jiwa? Kalau memang tahu, mengapa masih saja menekannya? Tolol sekali Bayu ini.

Saya marah dan ingin kembali ke rumah Geni. Tapi, haqqul yakin, kemarahan saya bukan karena saya dikeroyok tiga lelaki yang baru sekali saya temui. Tapi, kemarahan saya ini adalah sebentuk ketidakrelaan bahwa Geni harus bersama orang-orang toxic. Sedangkan saya dilarang untuk ikut campur tangan lagi. Saya harus bagaimana? Saya ingin kembali ke rumah itu dan menculik Geni dan membawanya kabur bersama saya. Tapi, apa mungkin saya bisa melewati penjagaan para Warok busuk itu? Sementara tubuh saya bonyok-bonyok begini. Geni sendiri bilang bahwa ia tak mau keluarganya dijadikan bahan tontonan dan gosip. Kalau saya nekat, itu tentu hanya akan jadi masalah yang berlarat-larat dan memalukan. Tapi, siapa yang seharusnya malu? Bukankah Geni sendiri berniat lari sama saya? Kenapa mereka menghalanginya?

Si Panut itu juga lembek. Bukankah dia bilang kalau Geni sudah banyak menderita? Kenapa diam saja dan seolah memihak mereka? Namanya saja Panut, tapi tak bisa dijadikan Panutan.

Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Wung? Apa? Saya memang marah. Tapi saya tak ingin Geni makin menderita jika saya nekat balik lagi kepada mereka.

Saya masih menjelempah di sofa panjang beranda kamar. Meski menahan sakit dan goyah saat mengendarai vespa, akhirnya saya bisa sampai kontrakan. Saat sendiri seperti ini, baru kemudian saya menyadari bahwa saya baru saja berperang dan saya kalah. Kalah luar dalam. Tubuh saya bonyok-bonyok. Geni dikurung di rumahnya. Saya dituduh perusak pagar. Hanya satu yang bikin saya sedikit lega, yaitu bahwa Geni berada di pihak saya. Meskipun itu kini seolah tak berarti karena ia tak bersama saya saat ini. Hanya ada saya sendiri. Tapi, mengapa saya bisa kalah?

Seandainya saya tidak gegabah dan membiarkan Geni menyelesaikan sendiri persoalannya dengan Bayu dan saya sabar menunggu, tentu semua ini tak akan terjadi. Jika saya tahu bahwa pada akhirnya saya akan dikeroyok dan diusir, saya mestinya mempersiapkan senjata saya sebaik mungkin sebelum datang ke sana. Tapi memang senjata saya tumpul. Saya tak menaruh curiga bahwa pada akhirnya mereka akan main kasar dan keroyokan.

Andaikata saya tidak datang sendiri dan membawa pasukan, tentu akan lain lagi ceritanya. Tapi, siapa yang sudi jadi pasukan saya? Mbah Jaga? Mbah Reksa? Tentu saja saya tak akan mengajak dan merepotkan para sesepuh itu untuk membantu saya. Kakang saya tak mungkin menang melawan manusia. Itu bukan wilayahnya. Ini adalah masalah saya. Saya harus menyelesaikan masalah saya sendiri. Saya adalah seorang gentleman. Bukan pengecut. Dan hasilnya, yah, seperti inilah.

Saya datang dengan niat baik. Sebab saya percaya bahwa setiap persoalan pasti bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, dengan dialog dan mengutamakan akal sehat. Saya masih merasa bahwa Bayu adalah seorang terpelajar yang telah dididik dengan hal-hal seperti itu dalam memandang dan menyelesaikan persoalan. Tapi, rupanya itu adalah pemikiran saya saja. Dan niat baik saya, yah, akhirnya berakhir seperti inilah.

Semakin dipikir-pikir, semakin meneguhkan kekalahan saya saja. Jadi, kenapa saya terus saja berpikir? Bukankah saya ini adalah ikan? Tapi, ikan yang satu ini sekarang sedang terdampar di gurun sendirian. Benar-benar gelagapan dan menderita luar dalam. Belum berapa lama ikan ini memecahkan bayangannya di muka danau dan masuk mencebur ke dalamnya, eh, malah terpancing oleh pikirannya sendiri. Ikan memang harusnya tak usah banyak berpikir yang macam-macam. Memang bahaya kalau sampai melihat cacing yang tak tahu bahwa itu adalah umpan yang menyesatkan.

Bagaimana nasib danau itu kalau ditinggalkan ikan? Sentakan pemancing saat mengangkat ikan saja sudah menimbulkan riak. Tentu saja ia akan merasa sebagian dirinya tercerabut. Meski masih ada ikan-ikan lain, tapi itu bukan ikan yang dia inginkan. Meski ada rumput, lumut, batu, kayu, atau bahkan harta karun tertimbun di dasar danau itu; apakah ia akan bisa menyadari mereka semua jika sebagian dirinya telah tercerabut dan kembali merasa hampa? Semoga saja danau itu lekas menyadari kehadiran mereka. Yah, saya berharap bahwa mereka akan lebih peka. Bahwa sebuah danau yang hampa sedang membutuhkan kehadiran dan simpati mereka.

Kalau saya terpuruk seperti ini terus, tentu saja saya tak bisa membuka toko saya. Tentu saja saya tak bisa membayar sewa toko secepatnya. Tentu pula saya tak bisa membayar sewa kamar kontrakan. Tentu saja saya tak akan bisa beli makanan. Tapi, apa ya bisa saya melayani pelanggan dengan tersuruk-suruk? Apa ya tak malu saya melayani pelanggan dengan mata satu dan pipi memar dan mulut dan hidung bonyok? Aduh, tambah terasa sedut-senut semua tubuh saya dan perih dan pegal dan linu dan kaku.

Saya seret tubuh saya dengan terseok ke kamar mandi dan berniat membersihkan luka di wajah saya yang terasa perih sekali. Saya lihat ke cermin. Sungguh makhluk buruk rupa. Jadi, siapakah makhluk buruk rupa di cermin ini sebenarnya?

Rupanya ia adalah manusia yang berupaya menutupi masa lalunya dengan keyakinan bahwa yang paling penting adalah hidup dengan wajar, hidup pada sekarang dan di sini, selalu berjaga pada batas impian dan kenyataan. Tapi apakah dengan mengabaikan masa lalu seolah hidup pada saat demi saat dengan sadar dan waspada itu akan terus bisa ajeg dan menjamin kebahagiaan? Tentu pertanyaan ini patut diajukan mengingat makhluk ini sekarang begitu buruk rupa dan kesakitan. Mungkin memang karena tak pernah bisa ajeg dan seringkali membikin tumpul kerisnya sendiri. Mungkin memang karena masa lalu juga penting adanya. Tak hanya sebagai bahan refleksi. Tapi lebih dari itu, masa lalu adalah moyang adalah leluhur yang pada praktik dan kenyataannya telah menyusun tubuhnya sampai sekarang. Geni sendiri telah sadar dengan hal ini. Kenapa saya malah mengingkarinya?

Jadi, siapa sebenarnya tubuh buruk rupa dan kesakitan di balik cermin ini? Secara jujur saya harus mengakui bahwa tubuh buruk rupa dan kesakitan di balik cermin ini adalah semua data-data yang masuk semenjak dari dalam rahim, atau bahkan jauh sebelum itu, sampai detik ini dan terhimpun dan berpusar di dalam tubuh ini dan akan terus mencari penyelesaiannya yang sepadan. Itulah yang saya maksud dengan moyang. Mungkin itulah kenyataannya yang sejati. Ini akan menjadi satu hal yang sahih bila memang benar tak ada jiwa, selain kerja dari sistem saraf dan hormonal belaka. Atau memang data-data yang saling bersilangan itulah yang patut disebut jiwa, yang membentuk keyakinan dan cara pandang yang mengarahkan ke arah mana makhluk buruk rupa dan kesakitan ini akan melangkah selanjutnya.

Jadi, kenapa saya mesti selalu berendah hati buat memanggil dan menyebut diri saya dengan saya? Saya harus belajar bahwa hidup yang tak selamanya ajeg memang bisa keras. Dengan memanggil diri saya dengan saya, itu berarti bahwa saya ini sama saja dengan si Panut yang tak bisa dijadikan panutan itu, sama saja seperti mengingkari sisi lain hidup yang keras tersebut. Bayu benar di sini. Ia telah melakukan dharmanya sebagai tindakan nyata dan strategis atas apa yang dia yakini. Dan sebagai hasilnya ia dan jejaring data terdekatnya telah memberi saya wajah yang buruk dan tubuh yang kesakitan. Akibatnya, saya mesti tercerabut dari lokus saya lagi. Kesepian dan kehampaan menyelimuti saya lagi. Oh, Geni yang kucintai. Kenapa hubungan kita berakhir seperti ini? Apakah selama ini saya memang salah telah menyandarkan hidup saya pada Geni? Kenapa saya mencelat keluar pada obyek di luar diri saya? Bukankah kesepian saya ada di dalam diri saya sendiri? Itu bukan salah Geni. Itu adalah saya sendiri. Berarti selama ini saya memang lemah. Jadi, saya putuskan buat kembali masuk pada diri saya sendiri dan meneguhkan keberadaan saya yang sejati dan membuang saya yang lemah. Baiklah, inilah saya yang baru. Inilah aku.

Jadi, siapakah aku ini sekarang? Apakah yang telah menyusunku? Siapakah moyangku? Seperti apa keyakinan dan cara pandangku? Bagaimana semua itu akan mengarahkan gerakku? Ke mana akan menuju gerak itu? Aku hanya bisa menggumam di depan cermin sekarang.


Apa yang terjadi dengan diriku, cerminku?

Mengapa sebuah batu menatapku?

Di punggungku hantu-hantu meringkik

Menertawai ruang di sebalikmu

Yang menyembunyikan isi kepalaku

Dan jantungku, dan kaki yang terpotong

Lihat selengkapnya