SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #14

14

Aku terbangun begitu mendengar nada dering panggilan masuk. Kuambil telepon genggam. Dengan malas dan mata kiyip-kiyip kuangkat.

“Halo. Salah sambung.”

Aku geli sendiri mendengar suaraku yang agak sumbang. Tapi, suara si penelepon bikin aku blingsatan.

“Mas, ini aku Geni. Kenapa lama nggak diangkat?”

“Geni. Geni, kamu nggak papa kan? Kamu stabil kan?”

Aku bangun dan duduk di ranjang bersandar pada dinding kamar.

“Aku nggak papa, mas. Mas Suwung gimana? Masih sakit? Maafkan aku, mas.”

“Geni, maafkan aku. Maafkan aku yang tolol ini.”

Aku mencoba untuk tidak menangis.

“Bukan salahmu, mas. Tak perlu ada yang disesali.’

Benarkah Geni yang ngomong seperti ini?

“Geni, kamu baik-baik saja?”

“Yang terjadi, terjadilah, mas.”

Benarkah ini Geni?

“Geni, kamu di mana? Sedang apa?”

“Aku di kamar mas. Sedang didandani. Mas, boleh kan kalau aku mlipir dulu?”

“Maksudmu?”

“Iya, mas. Aku sedang didandani untuk disiri mas Bayu pagi ini.”

“Kamu mau menikah? Kamu mau?”

“Insyaalloh ini jalan terbaik, mas.”

“Kamu yakin?”

“Insyaalloh, mas.”

Sunyi. Sepi di kamar ini. Sementara terdengar Geni bercakap-cakap dengan perempuan lain. Kadang tertawa atau menjerit kecil.

“Mas Suwung udah mandi? Udah sarapan?”

“Sudah, Geni.”

Tentu saja aku bohong.

“Jangan lupa sarapan, mas. Minum obat pereda nyeri. Minum air putih yang banyak. Lukanya diobati. Kalau masih sakit, jangan paksain ke toko.”

Aku hanya menduga-duga. Benarkah ini Geni yang kukenal? Aku kaget karena begitu tenangnya Geni sekarang. Tapi, aku senang. Tapi, aku juga sakit. Tapi, mendengar Geni sehat dan baik-baik saja, itu sudah menjadi hal yang patut aku syukuri. Semua memang salahku.

“Geni, kamu juga jangan lupa minum teratur obatnya.”

“Iya, mas. Pasti akan aku lakukan. Kakang di situ nggak, mas?”

“Nggak kelihatan dari kemarin.”

“Sampaikan salamku pada Kakang ya, mas. Sampaikan maafku. Juga pada mbah Reksa. Juga pada mbah Jaga. Sampaikan sungkemku dan terima kasihku, mas.”

“Iya, Geni. Pasti aku sampaikan.”

Mas, kan kita pernah berbahagia bersama. Kenangkan yang itu aja, ya? Jangan yang lain.”1

“Tentu.”

Aku paksakan buat menahan air mata yang mulai rembes.

“Mas, tahu nggak? Aku juga bisa nyanyi lho, mas. Meski suaraku nggak bagus-bagus amat. Sayang sekali kita belum pernah nyanyi bareng. Padahal aku pengen nyanyi diiringi gitar mas Suwung. Mas bisa main gitar, kan?”

“Tentu saja, Geni.”

“Mas mau aku nyanyi lagu apa?”

“Apa, ya? Kamu nyanyi apa aja, pasti aku suka.”

“Coba dengarkan, mas.”

Geni mulai menyanyikan sebuah lagu. Aku mendengarkan sambil mengusap air mata yang meleleh ke pipi. Klasik sekali. Gejala apa yang sedang terjadi pada Geni? Perubahan padanya begitu mendadak dan tajam. Apa mungkin ada yang salah dengan Geni? Apa ia mengalami satu fase lain yang tak aku ketahui? Semakin kupikir, semakin aku tak tahu. Banyak sekali kemungkinan. Dan itu semua hanya dugaan. Jangankan aku yang hanyalah seorang awam, bahkan dokter jiwa pun tak pernah berani dengan tegas mendiagnosa satu pasien. Buktinya, Geni bilang bahwa diagnosanya berubah-ubah. Diagnosa seringnya hanya simpulan dari gejala-gejala umum yang tak ajeg. Memang apa yang pasti dari semua yang ada di dunia ini? Segala perhitungan tak pernah bisa menelorkan hasil seratus persen akurat. Terlalu banyak variabel. Terlalu banyak kemungkinan dan lebih banyak lagi ketidakmungkinan. Dunia ini terlalu kompleks untuk bisa disimpulkan hanya dengan satu kebenaran tunggal. Maka, jalani saja. Yang terjadi, terjadilah.

 

Que sera, sera

Whatever will be, will be

The future's not ours to see

Que sera, sera

What will be, will be2

 

“Gimana, mas suaraku? Bagus nggak?”

“Bagus sekali, Geni. Empuk.”

“Gombal.”

“Suer.”

Aku memang berkata jujur. Suara Geni empuk dan pulen. Aku juga harus jujur bahwa keadaan seperti ini cuma membikin jantungku makin tersayat.

“Satu lagi, ya mas?”

“Boleh. Tentu saja.”

Tapi, aku tak serius mendengarnya bernyanyi. Aku malah sibuk mendandani hati yang berkeping-keping dan menduga-duga apa yang sesungguhnya terjadi pada Geni sekaligus. Tapi, semua itu hanya perbuatan yang sia-sia.

 

Cinta kan membawamu

Kembali di sini, menuai rindu

Membasuh perih

Bawa serta dirimu, dirimu yang dulu

Mencintaiku apa adanya3

 

“Mas, mas Suwung masih ngedengerin aku, kan?”

“Tentu saja, Geni.”

“Ah, bohong.”

“Aku nggak bohong, Geni.”

“Mas, nanti usai prosesi, aku langsung dibawa ke rumah mas Bayu. Jauh, mas. Nyebrang laut. Deket pantai, mas. Aku suka pantai. Tapi aku tak suka kalau kulitku jadi item.”

“Pakai sunscreen, Geni.”

“Betul juga. Coba bilang lagi ‘aku’, mas.”

“Aku kenapa, Geni?”

“Selamat, ya mas. Kamu telah menemukan akumu.”

“Terima kasih, Geni. Semua berkat kamu.”

“Sudah sewajarnya begitu.”

“Apapun yang terjadi padamu, selamat juga ya?”

“Terima kasih, mas. Que sera, sera.”

Geni bicara pada seseorang. Aku menunggu ia bicara lagi. Aku menunggu akhir semua ini.

“Mas, bentar, ya. Aku mau dipakein baju.”

“Iya.”

Terdengar celetukan-celetukan yang biasa keluar dari para perempuan saat membicarakan tubuh mereka yang tersembunyi. Aku jadi teringat kegiatan menggambar bersama Geni. Setelah ini mungkin aku tak bisa lagi menggambar bersamanya. Mungkin sekali ia akan menggambar bersama Bayu. Tapi, apakah Bayu bisa mengimbangi diskusi di sela-selanya tentang Van Gogh atau WPAP? Tentang Sylvia Plath atau Centhini? Siapa Bayu ini? Seperti apa pengetahuannya? Apa ia juga mempelajari hal-hal lain selain di bangku kuliah? Apa ia sekampus dengan Geni dulu? Yang kutahu adalah bahwa pelajaran menggambarnya adalah yang pertama dengan Geni. Itu sebabnya ia tak mau melepaskan Geni.  Kekanak-kanakan sekali. Geni juga yang pertama buatku. Tapi, aku tak mempersoalkannya. Memang, sebetulnya aku mau Geni jadi yang pertama dan terakhir. Tapi, Bayu merebutnya dariku. Tapi, Geni akhirnya juga mau. Perundingan seperti apa yang telah mereka lakukan? Kesepakatan seperti apa yang telah mereka bikin? Aku tak tahu. Tapi, demi mendengar bahwa Geni tampak tenang dan baik-baik saja, aku percaya bahwa Geni telah memilih yang terbaik di antara yang terbaik.

“Mas, masih di situ, kan? Maaf membikin menunggu. Mas, jangan kebanyakan melamun. Hidup terus berjalan, kan?”

“Betul. Kita harus berjalan di jalan kita masing-masing sekarang.”

“Betul. Lakukan dengan sadar dan sepenuh jiwa. Tapi kamu nggak percaya adanya jiwa sih.”

“Lakukan apa yang kamu mau lakukan. Aku senang melihatmu bahagia.”

“Terima kasih, mas. Ada kata-kata terakhir?”

“Berbahagialah, Geni.”

“Pasti.”

Ingin kukatakan banyak sekali. Tapi tenggorokanku tercekat.

“Mas, udah dulu, ya. Prosesinya akan dimulai.”

“Iya, Geni. Persiapkan dirimu sebaik-baiknya. Jangan menangis.”

“Maafkan aku, mas. Maafkan aku.”

Geni tergugu juga.

“Iya. Jaga diri baik-baik.”

“Maafkan aku, mas. Maafkan aku.”

“Iya, Geni. Jangan menangis. Berbahagialah.”

“Makasih, mas atas semuanya. Selamat tinggal.”

“Do’a terbaik untukmu.”

“Selamat tinggal, mas.”

Sambungan berakhir. Aku hanya bisa mematung memandangi telepon genggam. Sudah itu, tumpah juga semua beban di jantungku. Aku tak tahu berapa lama aku melepaskan semua himpitan di jantungku ketika kemudian terdengar ketukan di pintu kamar. Aku membenahi diri dan bangkit. Rupanya mbah Reksa.

“Ada apa, mbah?”

“Kamu kenapa nangis nggero-gero seperti itu?”

“Gak papa mbah.”

“Wajahmu kenapa? Suaramu sungguh lucu.”

“Jatuh dari vespa mbah.”

“O, Pantes vespanya ndak ada.”

“Ndak ada gimana, mbah?”

“Ndak ada di dapur. Sedang di bengkel?”

“Lho beneran, mbah?”

“Lho ndak tahu, kok malah tanya saya?”

Aku jadi ingat kalau semalam vespa tak kumasukkan ke dalam dapur bersama. Aku lalu ngeloyor ke dapur bersama. Benar tak ada. Di halaman kamar juga tak ada. Ke mana? Apa mungkin kutaruh di tempat jemuran? Aku ke sana. Tak ada. Aku mulai khawatir. Di halaman rumah utama juga tak ada. Terus ke mana? Seingatku memang kutaruh di halaman kamar kontrakan. Apa mungkin dipinjam orang? Siapa? Lagi pula tak minta ijinku. Apa jangan-jangan dicuri orang? Sungguh sial kalau begitu. Turanggaku satu-satunya yang berharga vespa ini. Sisa harta lain yang kumiliki. Apa perlu aku lapor kehilangan barang di kantor Polisi Sektor? Tapi belum jelas apa dipinjam orang atau dicuri orang. Baik, aku tunggu saja dulu jika memang sedang dipinjam orang.

Sementara itu, Kakang tak juga nampak batang hidungnya. Saudaranya sedang kena musibah malah senang-senang memburu betina. Dasar saudara tak berbudi.

Jadi, apa yang akan kulakukan sekarang selain menunggu vespaku kembali? Tak mungkin rasanya aku ke toko. Bicaraku agak sumbang. Mataku seperti tinggal satu. Tubuhku belum seluruhnya sembuh. Tapi aku juga butuh uang buat membayar sewa toko dan kontrakan dan membeli makanan. Aku harus dapatkan uang. Kalau tidak, bisa-bisa aku hanya akan menjadi patung atau pengemis. Oh, aku tak mau seperti itu. Menulis sepertinya ide yang bagus. Nanti dikirim ke media. Siapa tahu dimuat dan dapat honor. Lumayan buat memompa hidup yang mulai menyusut.

Aku beranjak dari sofa panjang beranda kamar dan masuk ke kamar. Kututup pintu, dan jendela kubuka sedikit. Kamar jadi remang. Tapi aku memang suka tidak terlalu terang saat menulis. Tapi terlalu remang juga tak baik. Kuhidupkan lampu tidur. Kuambil kaca mata di meja dan kupakai. Untung tak kupakai saat aku menyambangi Geni dan dihajar para Carok busuk itu. Dan notebook. Satu-satunya alat menulis yang tak akan kujual. Karena menulis adalah passion dan obsesiku. Meski selama ini seperti menjadi sampingan, tapi aku selalu berharap bahwa menulis akan menjadi pekerjaan yang nanti bisa menghidupiku sepenuhnya. Meski selama ini belum ada yang menghasilkan, tapi aku terus melakukannya dan menyimpannya dan mendatanya dengan rapi dalam notebook ini. Meski belum ada tulisanku yang dimuat di media dan menghasilkan uang, tapi aku tak akan menyerah.

Remang begini jadi ingat semalam saat mengobati nyeri dengan anggur. Jadi kubayangkan pula aku yang mengingat Geni. Maka serta merta aku menulis tanpa henti dan jadilah sebuah puisi buat Geni. Ketika kemudian kusunting barang empat lima kali, jadilah seperti ini.

 

BEGITU DALAM MALAM INI4

:Buat Geni

 

Begitu dalam malam ini

Ketika ingatan pada dadamu

Melayap di muka keypad

Lihat selengkapnya