SUWUNG

cholifatul ridwan
Chapter #15

15

Aku menulis terus terang karena ingin mendapatkan uang. Aku tak mau berpura-pura bahwa menulis itu untuk hal-hal ghaib dan rumit semisal untuk kerja keabadian. Hal seperti itu sudah pasti akan terjadi bila tulisanku memang berkualitas bagus. Tentu tulisan berkualitas bagus juga butuh publikasi untuk diapresiasi pembaca. Peran media jadi penting di sini. Tulisan yang dimuat media bisa dijangkau pembaca yang lebih luas dan terdokumentasi di sana dengan baik untuk waktu yang tak terbatas. Sebagai ganti atas pemuatan tulisan, maka penulis mendapatkan honor. Itulah yang disebut sebagai perhitungan sepadan. Orang menulis juga tidak gampang dan butuh biaya dan butuh waktu dan tenaga. Kupikir tak masuk akal bila usaha seperti itu tidak dihargai. Pelecehan namanya. Maka, bisa dikatakan bahwa menulis juga merupakan satu pekerjaan, sama seperti kerja seni lainnya atau kerja-kerja lain pada bidang lainnya. Bila penulis menyadari hal itu, tentu mau tak mau ia akan mengelola tubuh dan pikiran dan waktu dan lainnya untuk difokuskan pada kerja yang ia lakoni. Tak serampangan dan leda-lede. Memang usaha untuk mengelola seperti itu sulit sekali buat diterapkan dalam laku keseharian agar menubuh. Apalagi kalau si penulis belum bisa menghasilkan uang dari tulisan-tulisannya, sementara hidup terus berjalan dan butuh biaya. Alhasil ia harus membagi konsentrasinya dengan melakukan pekerjaan lain selain menulis untuk mendapatkan uang agar hidupnya terus berjalan.

Penulis paruh waktu yang leda-lede sepertiku tentu sangat jarang menghasilkan tulisan. Itu belum bicara soal kualitas tulisan. Itu belum lagi soal bagaimana meningkatkan kemampuan dalam mengolah ide dan teknik. Yang banyak kulakukan akhirnya hanya membaca. Membaca tulisan bermutu yang bisa memperkaya data-dataku. Membaca dari buku-buku, artikel, atau scrolling media sosial dan mencari tulisan berdaging yang aku lakukan itu misalnya. Tapi, semakin banyak dan beragamnya bacaan, selain memperkaya juga kadang bikin tersesat di menara gading. Semakin membikin diri merasa tidak tahu apa-apa. Semakin membikin diri takut untuk mulai menulis karena mengejar hasil tulisan yang harus bagus, tanpa cacat, atau bahkan sempurna. Itulah satu kendala yang sering menghinggapi penulis dan pembaca otodidak sepertiku. Tanpa silabus. Hanya berdasarkan kecocokan. Bukan kebutuhan. Alhasil, terlalu banyak data beragam yang masuk. Terlalu banyak isi dan gaya yang mengendon di alam bawah sadar.

Sudah empat hari semenjak Geni dibawa kabur Bayu. Aku bertahan hidup dengan memasak kol, wortel dan tomat yang tersisa di kulkas dapur. Selebihnya, aku banyak meminum air keran. Sekali aku makan dengan layak saat aku menemukan pecahan sejumlah lima belas ribu rupiah di saku celana terkutuk yang hendak aku cuci sore sehabis Geni dibawa kabur dan sehari setelahnya. Aku belikan menu seperti biasanya di tenda Kucingan mbah Jaga dan kubawa pulang ke kontrakan. Mbah Jaga tak menanyai bonyok-bonyok di wajahku. Pak Obros dan Pak Mitra hanya keheranan tanpa berkata-kata. Sudah itu aku belum lagi balik ke sana. Mbah Reksa tak pernah menawariku lagi nasi. Itu disebabkan karena ia dipasrahi buat menagih uang sewa kamar kontrakan kepadaku, tapi tak dapat aku bayar.

Ngenggoni tok, ndak mau bayar. Sudah hampir setengah bulan telat bayar, tidak berusaha cari uang malah ngendon di kamar terus.”

Mbah Reksa jelas memberati mandat pemilik kontrakan tinimbang mengasihani aku. Itu adalah tugasnya. Tapi, aku juga tak mau dikasihani. Meski aku juga belum mampu membayar sewa kamar kontrakan. Maka hingga kini, kami seperti dua orang yang saling bermusuhan. Mbah Reksa tidak atau belum tahu kalau usahaku telah bangkrut. Mbah Reksa juga tidak atau belum tahu kalau aku sedang kelaparan dan hanya bisa mengandalkan tulisan yang kukirim ke media yang tak juga kunjung ada kabar pemuatannya itu. Mungkin itu juga satu kekonyolan karena seandainya tulisanku dimuat, aku belum tahu kapan honornya akan cair dan berapa nominalnya.

Berpijak dari pikiran itulah kemudian aku tak hanya menulis puisi. Aku mulai untuk menulis roman. Sekali ini aku yakin akan bisa bikin roman yang bagus. Aku berharap bisa diterima penerbit dan laku di pasaran. Ini juga berbarengan dengan timbulnya semacam pencerahan setelah aku mempelajari ulang data-data yang masuk ke tubuhku dari yang kualami belakangan ini. Aku tak mengabaikan masa lalu sama sekali sekarang ini. Ini juga berkaitan dengan jalur yang akan kupilih untuk melanjutkan hidupku yang oleng. Apa aku harus kembali pada jalur sebelumnya, atau aku harus membikin jalur yang baru. Karena aku merasa bahwa aku telah menemukan akuku, maka kuputuskan untuk membikin jalur baru. Gampangnya, ketika aku memang benar oleng, maka kujatuhkan sekalian diri ini untuk kemudian menegakkan sepeda lagi dan memulai kayuhan yang sama sekali baru dan berbeda dengan sebelumnya. Maka, aku curahkan konsentrasiku buat merampungkan roman ini.

Barang-barang di toko belum juga bisa kuuangkan. Vespa tak kunjung dikembalikan. Buku-buku yang aku jual belum juga dibeli orang. Hanya ditawar tanpa ada kesepakatan. Uang telah habis sama sekali. Harta yang tersisa tinggal notebook dan telepon genggam dan sisa kuota sampai bulan ini berakhir. Semoga akhir bulan bisa kurampungkan roman ini. Biar aku dapat mengirimnya ke penerbit lewat email. Maka, aku mengirit pemakaian internet yang dapat menguras kuota. Hanya kupakai buat memastikan pemakaian lema atau istilah yang baku. Atau memastikan referensi untuk catatan kaki.

Tubuhku yang masih sakit dan jarang mendapatkan sesajen menjadi makin lemah dan kadang gemetaran. Pikiran juga menjadi agak sulit fokus dan dikontrol. Namun kupaksakan buat terus menulis roman tentang kisah yang baru saja kualami dengan Geni ini tanpa mengindahkan pengelolaan tubuh, pikiran, waktu dan lainnya dengan benar. Karena memang itulah yang aku bisa dan kuharapkan untuk bisa mengentaskanku dari kelaparan ini secepatnya. Inilah jalur baru yang kupilih.

Aku menulis dengan mencampuradukkan gaya beberapa penulis yang pernah kubaca. Aku lebih banyak berkubang dalam menggali data-data dari masa lalu yang baru berlalu itu dan juga berkeliaran dalam dunia khayalan. Mensejajarkan pengalaman dengan teks-teks sastra, musik, seni rupa, dan filsafat. Baik secara tersurat maupun tersirat. Semua itu lebih banyak kulakukan secara otomatis. Aku tak tahu dengan tepat, apa roman ini bisa disebut kutulis dengan gaya prosa spontan atau arus kesadaran. Aku hanya menulis dan menulis dan tertidur dan minum air keran dan menulis.

Sementara itu Kakang jarang di kontrakan. Aku tak tahu apa yang ia lakukan. Mungkin ia keliaran di kampung dan mencari makanan sendiri.

Sekali dua Geni mengirim pesan sejak hari di mana ia sampai di rumah Bayu. Hanya kabar dan cerita rumah tangga mereka. Aku sudah tidak begitu terpengaruh. Mungkin karena dari bahasa Geni yang sudah nampak tenang dan stabil, atau aku yang lebih sibuk dengan jalur baruku. Sepertinya perasaanku pada Geni sudah datar. Atau mungkin karena itulah kewajaran yang memang harus kualami dan kuterima. Aku pikir, Geni telah memilih. Aku harus menghormatinya. Aku tak mau benar-benar dianggap sebagai perusak pagar. Aku juga harus menghormati Bayu. Maka, aku berniat mengakhiri semua yang berhubungan dengan Geni. Aku harus benar-benar fokus pada jalur baruku. Maka, akhirnya kukirim pesan padanya.

“Geni, mulai kini, kamu bebas dariku. Kukembalikan kamu pada yang menciptakanmu. Aku yakin bila kamu bisa bahagia dengan pilihanmu. Aku juga harus menghormati Bayu dan usahanya untuk mendapatkanmu. Aku yakin kamu tak akan merasa tersinggung jika habis ini nomormu kublokir dan kuhapus. Aku yakin kamu  bisa memahami itu. Terima kasih untuk semuanya. Salam.”

Aku tidak lega ataupun sedih. Biasa saja. Cenderung hambar. Kewajaran seperti ini tidak apa-apa. Karena memang seperti inilah seharusnya yang patut terjadi. Aku hanya perlu mengurus diriku sendiri. Aku merasa tak ada niatan dan tidak ada kemampuan untuk mengurus hidup orang lain lagi sekarang ini. Tapi, tentu saja masih ada orang lain yang mau mengurus urusanku. Karena aku masih hidup dan berhubungan dengan orang lain. Karena memang aku masih ada hubungan dengan pemilik kontrakan dan aku masih berhutang bayar sewa kamar kontrakan bulan ini. Mungin karena menurutnya mbah Reksa tak mempan buat menagih pembayaran, maka pemilik kontrakan ini akhirnya datang sendiri untuk berhubungan denganku.

“Permisi. Selamat sore, mas.”

Orang tua pendek berkaca mata tebal ini nongol di pintu kamarku saat aku rebahan di ranjang istirahat dari menulis. Aku bangkit dan mempersilakannya masuk. Tapi, ia menolak.

“Saya ada perlu bicara dengan mas Suwung. Di luar saja, ya, mas.”

Orang tua ini berkata kalem seperti yang kukenal.

“Baik, pak. Mari.”

Aku keluar genteyongan membuntutinya.

Orang tua ini duduk di sofa panjang beranda kamar sambil menyilangkan kaki dan menumpukan kedua tangannya di lututnya. Aku juga duduk di sebelahnya mencoba bersikap sopan kepada orang tua.

“Begini, mas Suwung. Sebelumnya, saya minta maaf telah mengganggu waktu mas Suwung. Akan tetapi, saya memang harus bertemu dan bicara dengan mas Suwung.”

Orang tua ini menoleh kepadaku lalu memandang ke arah depan tanpa mengomentari wajahku yang bonyok-bonyok.

“Iya, pak. Tak perlu sungkan.”

Lihat selengkapnya