Swara Guntur, 1998

Sayap Monokrom
Chapter #1

PROLOG

"Masih mendambakan ketenangan di dunia? Orang sudah mati saja masih didoakan agar tenang."

Kak Fe, 1998.

****

"Kalau masih di sini, Papa pasti akan setuju dengan pendapat Fe," gumam Feni.

Setelah meminum segelas air, dia bersalaman dengan sang ibu. Kemudian, beranjak keluar dengan almamater biru dan tas ransel digendong sebelah. Ketika membuka pintu, seorang gadis berseragam putih abu-abu sedang berdiri dengan tangan terhenti di udara. Gadis itu segera melambai sambil tersenyum manis menimbulkan cekungan di sebelah pipi.

Gadis manis.

Guntur baru keluar dari kamar mandi yang antriannya tadi direbut oleh sang kakak. Dia mengalungkan handuk saat menuang air ke gelas. Kemudian, duduk di depan meja makan untuk menikmati sarapan—nasi, telur, dan kecap—dengan tenang.

"Gun! Pacarmu datang, nih!" teriak Feni di ambang pintu.

"Kak Fe apaan, sih? Bukan pacar, kok," ucap gadis itu sambil tertawa pelan. Guntur membersihkan tenggorokan dengan air, lalu bersalaman dengan sang ibu. Kemudian, mengambil sepatu dari rak di sudut ruangan.

"Loh? Kirain udah pacaran! Berteman sejak SD, tapi gak ada hubungan apa-apa?" sindir Feni mengeraskan suara agar adiknya mendengar. "Guntur ini kurang cepat ambil langkahnya!"

"Kak Fe selalu heboh, ya?" celetuk gadis SMU itu sambil tertawa kecil. Guntur yang mendengar pun hanya memasang wajah datar sambil memakai sepatu.

"Kita gak mau pacaran dulu. Mau belajar yang rajin. Supaya sukses, kaya, dan hidup tenang," ungkap Guntur dengan nada datar. Seolah setuju, sang gadis mengangguk cepat.

"Nanti nyesel kalau udah diambil sama laki-laki lain! Iya, kan, Put?" tanya Feni. Gadis yang ditanya hanya tertawa canggung seraya menyiku lengan Guntur.

"Kenapa harus demo, Kak?" tanya Guntur mengalihkan pembicaraan. Lagi-lagi, dia harus memulai perdebatan dengan topik sama sejak beberapa hari terakhir. Bagi remaja yang masih duduk di bangku SMU itu, mengikuti unjuk rasa yang ujung-ujungnya selalu rusuh hanyalah membuang-buang waktu.

Bukannya mendapatkan keinginan, malah kehilangan banyak hal.

"Kapan kamu berhenti demo, Fe?" tanya seorang wanita paruh baya.

Suara piring saling beradu di dapur rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Anak perempuannya mengangkat setumpuk piring yang telah dicuci dan menata ke lemari susun.

Lihat selengkapnya