"Sahabat lawan jenis itu mustahil kalau salah satunya menyimpan perasaan."
Putri, 1998.
****
Langit tampak cerah, seperti senyuman di wajah Putri saat melihat Guntur berjalan mendekat dengan kaki panjangnya. Perempuan itu baru saja menulis surat pada secarik kertas di antara belasan kendaraan yang terparkir.
Teruntuk Guntur Bintang Pramudya.
Tak lama, laki-laki yang ditunggu telah berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu segera melipat dan mengulurkan kertas tersebut.
"Bacanya kalau udah sampai rumah," ungkap Putri sambil menunduk dengan pipi bersemu merah.
Guntur tersenyum tipis, menatap hangat dengan mata hitam segelap obsidian. Lelaki itu memasukkan kertas ke saku celana. "Kenapa gak kamu bacakan langsung aja?"
Surat ini bukan yang pertama kalinya. Sudah belasan surat dari Putri yang telah dibaca. Cukup sederhana, tidak ada hiasan apapun, hanya kertas putih yang dilipat. Namun, ada yang membuatnya lebih istimewa daripada isinya.
"Kenapa mau dibacain?" tanya Putri balik.
Guntur mengedikkan bahu tanpa melepas senyum. Memberi jeda sebelum menjawab, "Suara kamu indah, juga menenangkan."
Putri tersenyum lebar sambil menggeleng. Pipinya perlahan berubah merah padam. Matanya yang kecil membentuk garis. Guntur diam-diam tersenyum saat memutar sepeda di belakang gadis itu.
"Cantik," gumam laki-laki itu tepat saat truk menderum di jalan.
"Kamu ngomong apa, Tur?" tanya Putri, berjalan beriringan dengan laki-laki yang menuntun sepeda ke luar gerbang sekolah.
Laki-laki itu mengedikkan bahu sambil tersenyum tipis. "Kamu dengar apa emangnya?"
Guntur mendekatkan wajahnya ke Putri, hingga gadis itu mengambil jarak. Gadis itu berkata, "Tadi, kayaknya kamu bilang aku can—"
Putri tiba-tiba berteriak sambil merangkul lengan Guntur. Laki-laki itu tanpa sengaja melepas stang hingga sepedanya terjatuh ke tanah.
"Meong!"
Guntur menunduk dan mendapati sebuah kucing putih keabuan menatapnya dengan mata berbinar. Laki-laki itu kembali tersenyum melihat Putri memejamkan mata dan berpegangan dengan erat. Dengan tenang, dia mengeluarkan air dari tas. Kemudian, memercikkan air hingga kucing tersebut berlari menjauh.
"Tur, udah pergi meongnya?" tanya Putri, masih dengan mata terpejam. Guntur mengacak puncak kepalanya dengan gemas, lalu terkekeh. Dia segera melepas rangkulan, sementara laki-laki itu mendirikan sepeda.
Guntur memang hanya mengacak rambut, tetapi hatinya yang porak poranda. Putri mencubit pinggang Guntur. "Ngetawain apa kamu?"
Guntur naik ke sepeda sambil mengusap pinggang. "Kamu lucu, Putri. Mustahil kalau gak ketawa," ujarnya menunggu Putri naik ke boncengan.
"Apanya yang lucu?" Putri mencebikkan bibir, lagi-lagi pipinya bersemu merah merangkul pinggang Guntur.