Swara Guntur, 1998

Sayap Monokrom
Chapter #3

2. Sang Penenang

"Tidak ada yang baik-baik saja saat kehilangan."

Guntur, 1998.

****

"Jangan, Ma. Bahaya kalau ke sana. Kita gak tahu keadaan di sana bagaimana, kan?" larang Guntur dengan lembut.

"Ayo ke sana, Gun. Kakakmu pasti ketakutan. Tadi, Mama juga dengar suara sirine ambulans mengarah ke sana. Ma—Mama gak akan memaafkan diri sendiri kalau sampai kakak kam—"

"Kak Fe pasti bisa jaga diri, Ma. Percaya sama Guntur, ya? Dia gak akan kenapa-kenapa," potong Guntur.

Anak lelaki tersebut menarik tubuh kurus ibunya ke dalam dekapan. Dia mengusap punggung ibunya perlahan sembari mengucapkan kalimat-kalimat penenang.

"Kak Feni akan baik-baik saja."

Tengah malam, mereka menonton berita di televisi. Tiga mahasiswa tewas dan satunya kritis setelah tertembak. Karena keempatnya adalah anak laki-laki, dia dan ibunya bisa sedikit bernapas lega.

"Kakak kamu ke mana, Gun? Udah jam segini, kenapa belum pulang juga?" tanya Me dengan suara tercekat.

Wanita itu duduk di atas sofa dengan selimut di tubuhnya. Tubuhnya menggigil bukan karena kedinginan, melainkan cemas menunggu putrinya pulang dengan selamat.

Guntur hanya mendengarkan sampai Meirina tertidur di sofa setelah semalaman menangis. Dia mematikan televisi, lalu membuka kunci pintu depan.

Membuka pintu sebentar untuk melihat halaman rumah. Menghitung kemungkinan bahwa sang kakak akan kembali sebentar lagi.

Pulang, Kak Fe. Mama nunggu.

Di halaman itu, kakaknya pernah memberinya semangat perihal percintaan. Teringat pula bagaimana sang kakak tersenyum manis memberikan bunga kepada petugas kepolisian.

Sore tadi, dia sama sekali tidak berpikir akan terjadi peristiwa yang menewaskan beberapa orang, termasuk mahasiswa. Demonstrasi yang dilihatnya terakhir kali memang ramai oleh yel-yel dan sorakan.

Sebuah siluet membuatnya tersadar dari lamunan. Guntur memicingkan mata supaya bisa melihat dengan jelas.

Beberapa detik kemudian, terlihat wajah oriental yang khas dari seorang gadis dengan piyama merah muda.

"Bukannya demonstrasi selalu seperti itu?" tanya Guntur dengan suara serak.

Perempuan itu berdiri dengan tersenyum tipis seraya merentangkan tangan, menawarkan pelukan. Guntur menyerah dalam ketenangan yang berusaha dipertahankan. Dia menunduk, merangkul pinggang Putri dan menangis di pundak perempuan itu.

Guntur terus meracau, "Kenapa demo di 12 Mei berbeda? Kenapa harus di hari ulang tahun Mama?"

Putri baru beranjak pulang saat azan subuh berkumandang. Guntur dan Meirina segera mengambil air wudu, lalu beribadah menghadap sang pencipta. Sujud yang begitu dalam seraya merapalkan do'a. Mengharapkan orang tersayang pulang dengan selamat.

Lihat selengkapnya