"Dari sekian banyak keberuntungan, memiliki perempuan itu adalah keberuntungan paling mengesankan."
Henri, 1998.
****
REFORMASI.
Satu kata yang mewakili ratusan mahasiswa Universitas Trisakti yang tengah terhenti di depan gedung wali kota setelah aparat keamanan membentuk barikade yang menghalangi mereka menuju gedung MPR. Mereka pun melakukan aksi duduk selama beberapa jam, sebelum mencapai kesepakatan dengan pihak kepolisian.
Aparat keamanan akan mundur apabila mahasiswa menghentikan aksi.
Begitulah para mahasiswa akhirnya membubarkan diri. Beberapa mahasiswa saling merangkul, berniat pulang setelah berjuang bersama sejak pagi. Mereka membawa spanduk-spanduk yang tertulis dengan tujuan yang sama.
Turunkan Soeharto.
Sama-sama lelah dengan sistem pemerintahan yang dianggap tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Membawa suara masyarakat kelaparan di tengah krisis moneter.
Seseorang yang entah dari mana mengumpat kasar. Kemudian, berlari ke jajaran kepolisian yang membuat barikade. Tak lama, suara menggelegar terdengar. Mahasiswa yang tadinya berjalan biasa, kini menoleh. Mereka mendapatkan naluri alami untuk segera berlari menjauh dari sumber suara.
"Kita semua masuk ke kampus untuk menyelamatkan diri. Tapi, polisi ngejar sambil nembak-nembak," ujar Henri, bercerita sambil mengernyit kesakitan.
Dalam pikiran Guntur yang selalu mendambakan ketenangan, dia tidak pernah mau ikut campur dengan hal-hal yang berkaitan dengan demonstrasi. Namun, kenyataan kadang memang tidak sejalan dengan keinginan.
Realita bahwa dirinya ada di masa Kerusuhan 1998.
Sekarang, siswa SMU itu malah jadi pendengar yang menyimak cerita dari mahasiswa yang terluka saat melakukan demonstrasi. Guntur bahkan meninggalkan sepeda peninggalan ayahnya dan memilih untuk membawa orang tidak dikenal ke rumahnya. Hatinya tergerak melihat mahasiswa yang mungkin akan mati bila ditinggalkan. Namun, ada satu alasan yang membuatnya mengabaikan keraguan, yaitu rasa penasaran.
"Kalau gitu, harusnya demo itu bisa berakhir damai, kan?" tanya Guntur seraya membalut luka di pinggang Henri. Dia menyadari betapa beruntungnya mahasiswa itu karena peluru hanya menggores kulit bagian luar.
"Gak ada jaminan. Semua bisa terjadi di demo yang melibatkan aparat keamanan. Mereka punya senjata. Entah cuma gas air mata ataupun peluru tajam. Katanya, supaya lebih aman," kata Henri dengan keringat yang mengucur di pelipis. Wajahnya memerah karena menahan nyeri dan ngilu.
Semakin lama mendengar, penasaran yang muncul mulai membesar. Guntur melihat luka Henri yang telah terbalut kain kasa. Membayangkan orang lain yang tidak seberuntung Henri.
"Seperti hilangnya para aktivis sebelum-sebelumnya, siapa yang akan bertanggung jawab?" tanya Guntur dengan nada dingin.
"Sebulan, setahun, 10 tahun, atau bahkan lebih dari 20 tahun. Peristiwa ini mungkin akan dilupakan kalau terus diabaikan," jawab Henri, lalu menghela napas berat. Guntur pun tertawa getir.
Guntur memasukkan obat-obatan ke kotak P3K dengan perlahan. Sedangkan, Henri membaca judul koran yang terbuka di atas meja.
"Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan. Senjata-senjata itu bahkan udah menewaskan 6 orang."
Insiden di Universitas Trisakti. Enam Mahasiswa Tewas.
"Empat di antaranya adalah Mahasiswa Trisakti," timpal Henri dengan sebelah tangan menggenggam erat tali yang tadinya terikat di bahu.
Guntur yang melihat tali tersebut, seketika mengingat kain yang diikat ke kepala kakaknya bertuliskan kata yang sama, Reformasi.