"Bukan dunia yang kejam, tapi manusianya yang sering menilai berdasarkan golongan."
Putri, 1998.
****
19 Maret 1998, Feni dan Guntur mengintip dari celah pintu kamar. Mereka penasaran tentang polisi yang menemui ayah mereka. Pasalnya, ini adalah kediaman pamannya yang terletak cukup jauh dari rumah mereka. Meski samar, mereka masih bisa mendengar obrolan polisi dan ayah mereka di ruang tamu.
"Anda sudah dengar tentang pengeboman di rumah susun Tanahtinggi?"
"Januari lalu? Iya, saya sempat mendengar. Itu disiarkan di berita."
"Kami sedang mencari saksi."
Tiba-tiba, ibu kedua anak itu mendorong pintu kamar. "Kalian ini mau tau aja urusan orang dewasa. Gak baik nguping pembicaraan orang dewasa!" tegur Meirina seraya membuka pintu sedikit sambil menajamkan pendengaran. Guntur dan Feni pun saling berpandangan.
"Mama yang ngajarin!" seru Guntur, lalu tertawa. Meirina hanya berdesis sambil meletakkan telunjuk di bibir.
"Ma, polisi itu tau dari mana kalau Papa lagi di sini?" tanya Feni dengan raut cemas.
Meirina melihat dua pria yang sedang berbicara serius itu, tapi tidak mengerti apa yang dibicarakan. Namun, raut kedua pria itu semakin menegang. "Mungkin tanya ke orang-orang?"
Sedetik kemudian, mereka mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar. Ketiga orang di dalam kamar itu langsung berlari ke ruang tamu. Mereka melihat pintu yang terbuka, terdapat jejak sepatu. Sedangkan, Pramudya—suami sekaligus ayah dari dua anak itu—berlutut dengan tangan dipiting dan kepala di tekan ke dudukan sofa.
****
"Put, katanya kamu demam. Lebih baik pulang aja, ya? Kamu harus istirahat," ujar Guntur sambil menggenggam erat bahu gadis itu.
"Demam? Siapa yang demam?" tanya Putri, membuat Guntur mengangkat alis. Dia langsung teringat dengan orang tuanya. Pasti sang ibu yang telah mengarang cerita bahwa dirinya sakit. "Guntur, aku gak sakit. Pokoknya, aku akan ikut kemanapun kamu pergi!"
"Kamu jangan gila, Put!" sergah Guntur seraya mendekat dan menutup pintu di belakang gadis itu.
"Kamu yang gila! Udah tahu di luar bahaya, malah mau keluar sama mahasiswa keturunan Cina ini!" sungut Putri dengan wajah cemas, lalu meremas lengan kemeja milik Guntur. Guntur semakin menggeleng bingung. "Aku gak akan biarin kamu pergi sendirian."
"Maksudnya apa, bawa-bawa etnis?" tanya Henri mengerutkan kening. Dia tidak mengerti maksud gadis yang baru ditemui ini. Melihat mata gadis itu saja, dia sudah bisa menebak. "Kamu juga keturunan Cina, kan?"