Swara Guntur, 1998

Sayap Monokrom
Chapter #6

5. Manusia-Manusia Mengerikan

"Hantu atau hewan buas, kadang tidak lebih menakutkan dari manusia yang memiliki akal pikiran."

Feni, 1998.

****

Ketiga pemuda itu berjalan menyusuri gang demi gang yang minim pencahayaan. Sesekali, mereka harus diam layaknya patung ketika mendengar suara warga yang sekedar lewat. Dingin semakin mencekam di sela seragam yang dipakai kedua laki-laki itu. Putri yang mengenakan kaos lengan panjang saja masih dapat merasakan hawa dinginnya.

Henri senantiasa memimpin jalan. Guntur tidak melepas genggamannya sedetik pun dari Putri hingga gadis itu merasa bahwa genggaman itu terlalu erat."

"Tur, tanganku agak sakit."

Guntur menoleh seraya melonggarkan genggaman dan mengusap pergelangan tangan gadis itu dengan lembut. "Maaf, kayaknya aku terlalu khawatir."

Henri tiba-tiba berhenti hingga kedua siswi SMU itu tidak sengaja menabraknya. Dia membulatkan mata ketika tubuhnya terhuyung. "Kalian masih sempet-sempetnya pacaran, ya? Fokus!"

"Kami bukan pacar!" jawab Guntur dan Putri bersamaan. Henri

Mereka keluar dari gang perumahan, lalu berjalan menyusuri jalan besar. Ketika ada mobil lewat, mereka reflek bersembunyi di manapun. Di bawah pohon, berselimutkan spanduk demonstrasi, mereka bertiga berjongkok sampai suara mobil tidak terdengar. Henri menatap datar dua remaja di sampingnya.

"Putri, kalau kamu capek, nanti biar kugendong, ya?" tawar Guntur kembali menggenggam pergelangan tangan Putri.

"Enggak usah, Tur. Nanti malah kamu yang kecapekan," tolak Putri setengah berbisik.

"Wahai anak muda, bisakah kita meneruskan perjalanan sekarang?" tanya Henri menyadarkan kedua remaja itu bahwa mereka sedang bertiga. Putri dan Guntur pun berdiri. "Kenapa kalian gak pacaran sekalian? Terlalu sederhana kalau kalian cuma temen biasa.”

"Gak bisa," tanggap Putri dengan ragu.

Guntur mengangguk setuju. Sedangkan, butuh beberapa saat bagi Henri untuk menyadari situasi di antara kedua remaja itu. Hubungan yang memang tidak sederhana. Berpacaran memang tidak serumit menikah, tapi tetap sulit bila jalan mereka berbeda.

"Tuhan memang satu. Kalian yang berbeda," tutur Henri.

Setelah melewati jalan yang lebih aman, mereka akhirnya sampai di depan rumah susun. Henri berusaha membuka gerbang yang tergembok. Dia mengumpat seraya memanjat pagar besi itu. Ketika berhasil mendarat sempurna, lelaki itu melihat Guntur dan Putri masih terdiam dengan mulut setengah terbuka.

"Ngapain masih di sana? Kalian mau tertangkap warga? Cepetan lompat!" sungut Henri yang kesabarannya setipis kapas.

Lihat selengkapnya