“Saat lelah dan kehilangan semangat, justru orang-orang tidak dikenal yang akan menjadi alasan untuk tidak menyerah.”
Guntur, 1998.
****
“Guntur, aku gak tau apa kita bisa ngejar. Banyak-banyak berdoa biar temenmu gak diapa-apain!”
“Enggak akan ada yang terjadi kalau kita berhasil ngejar, Koh.”
Guntur dan Henri menuruni tangga dengan langkah cepat. Mereka melompati pagar besi yang masih tergembok. Kemudian, mengejar mobil yang jaraknya sudah dua ratus meter dari mereka. Kedua laki-laki itu tidak berhenti berlari, ditemani lampu jalan yang sesekali berkedip karena sudah lama tidak diganti.
Guntur mengabaikan sebelah sepatu yang terlepas di tengah jalan. Pandangannya tidak beralih sedetikpun dari mobil yang membawa sahabatnya. Henri turut berlari tanpa menghiraukan kenyataan bahwa polisi bisa saja menangkapnya saat ini. Hujan tiba-tiba mengguyur tubuh mereka yang sudah basah karena keringat.
“Kita kehilangan jejak, Koh. Mereka menghilang di tikungan,” kata Guntur, membungkuk dengan napas tidak beraturan.
“Udah kubilang, kita gak akan bisa ngejar!” ujar Henri setengah berteriak sambil memegang dada. Bernapas melalui mulut untuk mencari oksigen sebanyak-banyaknya.
“Harusnya, aku gak ngelepasin tangannya.” Guntur memperhatikan kedua telapak tangannya dengan penyesalan.
Tiba-tiba, lampu di atas mereka meledak dan menimbulkan percikan. Henri segera menarik Guntur menjauh. Hujan semakin deras dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari tempat berteduh. Tubuh kedua lelaki itu sudah basah kuyup.
“Besok, kita coba cari bantuan. Sebelum itu, kita harus nyari keberadaan Kak Fe. Kembali ke rumahku atau ke tempat lain, asalkan kita bisa menemukan Kak Fe.” Guntur memulai pembicaraan di perjalanan kembali ke rumah susun. Mereka berdua sudah menggigil berjalan ratusan meter jauhnya. Henri tidak bisa berpikir karena dingin yang menusuk kulit kepalanya.
“Tapi, kita harus siap dengan kemungkinan terburuknya. Feni mungkin juga diculik—"
“Kak Feni bisa bela diri, gelar sabuk hitam. Bahkan, dia pernah ngalahin beberapa preman pasar yang malak pedagang seenaknya. Jadi, dia gak mungkin diculik semudah itu,” potong Guntur dengan nada datar.
“Semoga kemampuan bela dirinya, bisa bikin Feni selamat,” timpal Henri sambil menganggukkan kepala.
Sedetik kemudian, dia menempel ke belakang Guntur saat petir menyala-nyala hingga timbul suara menggelegar. Guntur pun mengerjap saat merasakan pelukan di lengannya. Sontak, Henri menjauhkan diri.
Guntur tertawa kecil. “Tau gak? Siapa yang ngasih aku nama?”
“Nama Guntur? Siapa emangnya?”
“Kak Fe. Katanya, beberapa detik waktu Mama melahirkan, gak ada suara bayi lahir. Setelah Kak Fe menyebut kata itu, langsung terdengar suara keras tangisan bayi.”