“Harga dari pengkhianatan tidak jauh dari kata karma dan penyesalan.”
Henri, 1998.
****
Guntur dan Henri berjalan ke area perumahan. Melihat suasana jalanan pagi itu teramat sepi, membuat dua laki-laki itu bergidik ngeri. Tidak ada kemacetan, maupun asap kendaraan. Mereka juga melihat toko-toko di pinggir jalan tertutup rapat.
Milik Pribumi.
Milik H. Somat.
Hampir semua pintu toko ditulis dengan berantakan menggunakan cat semprot. Tulisan tampak seperti dibuat terburu-buru. Mobil-mobil hancur dan barang-barang sisa pembakaran masih tergeletak di jalanan. Guntur dan Henri menjadi saksi betapa hancurnya Jakarta pada Mei 1998.
“Koh Henri, apa alasanmu tetap ikut demo saat semuanya udah hancur kayak gini? Demo kemarin jadi sia-sia, kan?”
“Hancur, tapi belum berakhir. Masih ada banyak alasan untuk tetap memperjuangkan sesuatu, Gun. Demo kemarin memang gagal, tapi bukan berarti sia-sia.”
“Jadi, apa alasanmu tetap bertahan?”
“Kawan-kawanku tewas. Apa ada alasan yang lebih kuat dari itu?” tanya Henri balik, lalu menyepak kaleng minuman dengan ujung sepatu. Telapak tangannya mengepal hingga buku-buku jari memutih. Dia berjalan cepat mendahului Guntur.
Guntur terlambat menyadari bahwa keberadaan Henri dalam hidupnya mungkin bukan sebuah kebetulan. Mulai dari pertemuan pertama di tengah kerusuhan, hingga dia mengetahui markas rahasia. Takdir apa yang membuat mereka harus bertemu?
“Kenapa mau bantu nyari kakakku?”
“Itu juga harus ada alasan?” Henri menoleh ke belakang dengan tatapan tidak bisa diartikan. Setelah itu, dia kembali berjalan dengan langkah lebih lambat. Lelaki itu menunduk dalam, seperti enggan menunjukkan raut terluka. Perasaannya saat ini sangat tidak nyaman.
Tubuh Henri terhuyung ke dinding di sampingnya. Dia menjambak rambut sendiri dengan satu teriakan yang lolos. Perlahan, penyesalan mulai menyeruak di hatinya. Guntur segera mendekat dan memegangi tubuh laki-laki itu.
“Sialan! Bedebah!” umpat Henri dengan tangan yang tidak berhenti menjambak rambut sendiri. Anggap saja dia gila. Kalaupun benar-benar gila, itu adalah balasan atas kesalahannya terhadap seorang perempuan.
“Koh Henri kenapa? Lukanya kerasa?” tanya Guntur dengan raut cemas ketika wajah Henri tampak lebih pucat dari sebelumnya.