“Ketika berada di ujung jurang, kadang malah orang terdekat yang akan mendorongmu ke dasar hanya untuk menyelamatkan diri.”
Putri, 1998.
****
Kerusuhan kembali terjadi di tengah kota. Guntur dan Henri tidak jauh dari lokasi pom bensin yang baru saja meledak. Kedua pemuda itu berlarian di sisi warga untuk menyamarkan diri. Menyaksikan para warga beramai-ramai menghalangi laju mobil dan menyuruh penumpangnya keluar.
“Bakar! Bakar!”
Teriakan warga laki-laki yang paling lantang. Mereka menuangkan bensin ke badan mobil, lalu menyulut api dengan korek. Terbakar, hangus, lalu meledak. Para polisi dan tentara mulai berdatangan, tapi tidak bisa berbuat banyak.
“Kejam,” ungkap Guntur dengan nada tegas. Sebelumnya, dia hanya diam dengan kebingungan dan ketidaktahuan akan banyak hal. Hari ini, dia merasa ada degupan kencang di dadanya. Marah, sedih, dan kasihan bercampur.
Henri menggertakkan gigi. Sebelah tangannya terkepal hingga buku-buku jari memutih. “Aku tahu kalau mereka gitu karena keadaan, tapi ini gak bisa dibenarkan!”
Guntur mencekal lengan Henri yang hendak berlari ke rombongan yang sedang menghentikan mobil. “Bisa lebih sabar sedikit?”
“Sabar? Lihat sendiri, apa yang terjadi saat kita terus sabar?! Kekacauan gak akan berhenti kalau kita tetep diem, Gun!” sergah Henri dengan mata menyala-nyala. Dia menghempaskan lengannya agar terlepas dari cekalan Guntur.
“Sesuatu yang berantakan akan semakin berantakan kalau kita gegabah. Lagipula, kita gak bakal bisa menghentikan kerusuhan sebesar ini,” ujar Guntur dengan nada tenang. Henri menjambak rambut dan melampiaskan kekesalan pada angin. “Sebaiknya kita lanjut cari Kak Fe dan Putri.”
Baru saja Henri mengangguk tenang, seorang pria paruh baya yang membawa barang jarahan menabrak bahunya hingga pantatnya menyentuh tanah. Seketika, darahnya naik ke kepala hingga telinganya mengeluarkan hawa panas. Guntur segera memeluknya dari belakang hingga tidak bisa bergerak.
“Gila! Lepasin!” sentak Henri dengan mata melotot.
“Mengontrol diri itu emang sulit, tapi bisa dilatih. Mulai aja dari menghitung sampai sepuluh,” kata Guntur.
“Ngomong apaan, sih?! Buruan lepas, sebelum ada yang lihat!” Henri berusaha melepaskan diri dengan menggerak-gerakkan tubuh. Dia hampir kehabisan napas bila pelukan Guntur tidak mengendur.
“Janji dulu buat gak gegabah,” pinta Guntur.
“Sialan! Kuat juga ini bocah,” umpat Henri dengan napas terengah-engah. Dia baru menyadarinya detik ini bahwa kakak-beradik yang dikenalnya memang sangat tangguh. “Kita bakal temuin Feni secepatnya! Kalau kekuatannya kayak begini, dia pasti bisa lolos dari segala bentuk penculikan.”
Pelukan Guntur mengendur, sementara Henri tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung berlari ke arah pria yang menabraknya tadi, lalu mendorong dengan bahu. Sontak, membuat pria paruh baya itu berteriak dan menjadi pusat perhatian warga.