Swara Guntur, 1998

Sayap Monokrom
Chapter #10

9. Jiwa Terguncang

Teruntuk Guntur Bintang Pramudya.

Aku gak ngerti apa alasan Tuhan mempertemukan kita yang berbeda. Pastinya, aku gak menyesal kenal sama kamu. Aku takut dengan banyak hal, Tur. Namun, aku baik-baik saja, asalkan ada kamu di sisiku.

Kamu menghitung waktu kita? 10 tahun kita bareng. Kata Kak Fe, pertemanan lawan jenis itu mustahil kalau salah satunya tidak menyimpan rasa. Awalnya, aku memang tidak percaya. Siapa sangka? Aku mulai mempercayainya hari demi hari.

Jakarta, 11 Mei 1998.

****

Setelah menunaikan sholat isya, Guntur membaca surat pemberian Putri sambil bersandar pada pohon besar depan mushola. Henri menemukan surat tersebut di kamar mandi markas dan baru sempat memberikan hari ini.

Mushola tidak seramai tadi siang karena orang-orang keturunan Cina yang mengungsi sudah dipindahkan ke beberapa rumah warga. Beberapa orang sedang menunggu paspor mereka selesai dibuat.

Henri duduk di sebelah Guntur sambil membawa dua gelas kopi. Salah satunya diberikan kepada Guntur. “Kabarnya, mereka akan terbang ke Singapura.”

Guntur menoleh ke Henri yang menyeruput kopi susu. Dia menatap dengan wajah penasaran. “Koh Henri gak pergi ke Singapura juga?”

Pandangan Henri langsung tertuju pada dinding yang mereka lihat saat pertama kali menemukan tempat ini. Guntur mengikuti arah pandangnya dengan penuh tanda tanya.

Henri meletakkan gelasnya ke samping, lalu menatap langit. “Ada nama keluargaku di dinding itu. Tadi, aku juga melihat mereka tampak bahagia bersama adikku. Kehadiranku mungkin akan merusak.”

“Coba temui mereka dulu,” saran Guntur, membuat Henri menoleh dengan mengerutkan kening. Dia tersenyum sendu, lalu berkata, “Waktu gak ada yang tahu.”

“Feni juga sering bilang gitu tiap kali aku cerita soal orang tua,” ungkap Henri menatap langit yang bertabur bintang. Ada satu yang paling terang di antara yang lain. Ada perasaan ingin menggapainya.

“Kalian pacaran sungguhan?” tanya Guntur dengan tatapan menyelidik. Sedangkan, Henri berdecak sebal dan menyeruput kopi yang mulai dingin. Keduanya diam diiringi suara serangga malam.

“Tanya kakakmu langsung setelah kita berhasil nemuin dia.”

“Aku cuma heran, gimana kalian bisa menjalani hubungan seperti itu? Bukannya kebanyakan pasangan akan berharap ke pernikahan?”

Lihat selengkapnya