“Katanya orang datang dan pergi. Itu tidak sepenuhnya salah. Aku yang datang dan selalu mereka yang pergi.”
Guntur, 1998.
****
12 Mei, setelah penembakan, masih banyak mahasiswa yang terjebak di kampus Trisakti hingga larut malam. Para pemuda yang berteriak lantang saat demonstrasi, kini gemetar mengintip ke luar jendela. Samar-samar, moncong senjata laras panjang terlihat dari senter yang terarah ke jendela gedung tempat mereka bersembunyi.
“Sialan! Kenapa mereka masih di sini? Mereka mau ngebunuh kita atau apa?” umpat Henri dengan rahang mengeras. Feni langsung memukul pundaknya dengan keras.
“Jangan banyak gerak! Bisa-bisa, kamu udah mati duluan sebelum mereka bunuh!” sergah Feni seraya mengeluarkan sapu tangan bermotif dan menekan pinggang Henri agar darah tidak keluar semakin banyak.
Henri diam-diam tersenyum melihat wajah Feni dari samping. Kening perempuan itu berkerut karena cemas. Laki-laki itu menggenggam lengan Feni dengan lembut hingga perempuan itu menoleh. “Fe, ayo kabur,” bisiknya.
“Udah gila, ya? Mana bisa kabur kalau penjagaannya seketat itu?”
“Bukan itu maksudku. Ayo kita kabur dari kota ini, dari negara ini sekalian kalau perlu.” Mata perempuan itu sepenuhnya membulat. “Ayo kawin lari, Fe,” bisik Henri tepat di telinga Feni.
“Jian, berhenti bicara omong kosong. Bisa-bisanya kepikiran hal itu di situasi kayak gini!” ujar Feni membenarkan kain yang mengikat kepalanya. Dia menatap Henri yang tidak bersuara. Laki-laki itu memejamkan mata. “Jian! Jangan tidur! Kamu denger aku, kan?!”
Tidak ada jawaban, membuat Feni menggoyang-goyangkan tubuh Henri dengan khawatir. Teman-temannya pun mendekat untuk melihat yang terjadi. Laki-laki itu masih memejamkan mata. Sedangkan, Feni sudah menangis sesenggukan sambil menggenggam tangan laki-laki itu.
“Bangun, Br*ngsek! Katanya mau kabur!” teriak Feni sambil memukul-mukul dada bidang Henri. Teman-teman di sekitarnya pun ikut panik dan mencoba menenangkan. Perempuan itu menangkup wajah dengan pundak bergetar.
“Beneran mau kawin lari?”
Feni menurunkan telapak tangannya saat mendengar suara serak Henri. Laki-laki itu tersenyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa. Mahasiswa lain yang sempat khawatir pun menjadi kesal.
“Kamu bercanda? Gak lucu!”
Feni melempar sapu tangan yang sudah berlumuran darah ke wajah Henri. Kemudian, berdiri dan keluar dari ruang senat. Teman-temannya pun mencoba mencegah, tapi perempuan itu tidak peduli. Dia terus melangkah tanpa mempedulikan sekitar.
“Woy!” teriak salah satu polisi, disusul suara tembakan. Feni segera berjongkok di bawah jendela.