“Sebesar apapun masalahnya, kita yang paling keras merutuki diri sendiri sampai tidak mau mengakui kesalahan.”
Henri, 1998.
****
Feni tidak bisa menunggu lebih lama. Darah berceceran di lantai kampus yang berasal dari bekas tembakan di pinggang Henri. Mereka ke luar kampus bersama mahasiswa-mahasiswa lain menuju ambulans. Sayangnya, berjalan paling belakang bukanlah hal yang bagus.
BRAK!
“Jian!” teriak Feni. Seseorang baru saja memukul kepala Henri hingga laki-laki itu jatuh berlutut. Sedangkan, dia dibekap dari belakang, tapi dia langsung menyiku perut pelaku hingga bekapannya terlepas.
“Fe, ayo lari!” Henri berdiri terhuyung dengan kepala berputar akibat pukulan keras ditambah darah yang keluar dari pinggangnya. Namun, Feni masih berhadapan dengan pria berbadan besar, bertarung satu lawan satu. Kemampuan bela dirinya memang tidak perlu diragukan.
Satu orang telah tumbang, tapi muncul pria lain yang tidak kalah kuat. Pria memukul dagu Feni dengan keras. Perempuan itu mundur beberapa langkah dengan hidung berdarah. Dia menoleh dan berteriak. “Jian! Cepet panggil bantuan!”
Pria tinggi besar memukul pelipis Feni. Perempuan itu membalas dengan pukulan keras pada hidung. Ketika sebuah tinju mengarah ke tubuhnya, Feni segera menangkap tinjuan itu dan membanting tubuh pria itu hingga terkapar di tanah.
Feni segera memiting lengan pria itu dan menduduki punggungnya. “Jian, kenapa masih di sini?! Kabur sebelum pria yang satu itu ban—”
Pria yang sedang dibicarakan, tiba-tiba meraih tubuh ringan Feni dan melemparnya ke tanah. Perempuan itu tidak gentar dan menatap tajam. Si pria menarik kerah kemeja yang tertutup almamater. Dengan sudut mata, dia mengisyaratkan Henri untuk meninggalkannya sambil bergumam, “Aku gak apa-apa.”
Ketika memutuskan kabur, Henri tidak mengerti jalan pikir pacarnya. Bukannya berlari bersama, perempuan itu memilih untuk melakukan perlawanan. Ada alasan yang tidak sempat dijelaskan, tapi bisa dimengerti olehnya sekarang.
Apabila Feni dan Henri memaksa diri untuk lari bersama, tidak akan ada yang selamat. Henri mungkin kehabisan darah dan Feni tidak akan dibiarkan hidup lebih lama. Feni mengorbankan diri agar salah satu di antara mereka selamat.
Henri duduk di depan rumah aman dengan kepala tertunduk dalam. Mencium sapu tangan bermotif yang sebelumnya digunakan Feni sebagai penutup hidung. Benda itu pula yang digunakan untuk menekan luka di pinggang laki-laki itu.
“Apa lagi yang Koh Henri sembunyikan?”