Dari Putri Lian.
Saat aku berhenti memikirkannya, semuanya terasa jelas. Sampai aku sadar akan satu hal. Aku menolak perasaanku terhadapmu bukan karena tidak menyukaimu. Melainkan, kepercayaan kita … yang berbeda.
Pada akhirnya, aku serakah atas kebaikan-kebaikan yang kamu berikan, Tur. Meski mereka menentangku untuk bersamamu, aku tetap ingin menikah … dengan pribumi.
Jakarta, 12 Mei 1998.
****
Pada masa di mana perbedaan berpendapat adalah kejahatan, membuat banyak orang dituduh, dipenjarakan, dan dibungkam dengan kekerasan. Remaja laki-laki berusia 17 tahun itu mempelajarinya secara langsung. Kehilangan-kehilangan yang berawal dari teriakan-teriakan lantang yang ditentang.
“Keraguanmu yang menghancurkan segalanya. Jadi, berhentilah menyalahkan keadaan, takdir, bahkan Tuhan.”
Guntur memutar kembali perkataan Henri tadi sore. Laki-laki itu menyelamatkannya yang hampir hilang akal karena depresi. Menyadarkannya tentang kesalahan yang tidak disadari. Detik ini, dia juga menyadari satu hal.
Tentang seseorang yang masih ada, meskipun sempat hilang.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan. Guntur berdiri tanpa keraguan dan berjalan mendekati pintu. Tangannya terangkat untuk memutar knop. Namun, pintu terbuka perlahan sebelum tangannya mencapai pintu.
Putri tersenyum tipis dengan bibir tipisnya. Dia melambaikan tangan sebagai bentuk sapaan. Gadis itu membuka mulut dan bersuara, “Apa kabar, Guntur? Maaf, beberapa hari lalu aku hampir gila.”
Guntur membeku di tempatnya berdiri. Dia enggan mempercayai penglihatannya yang buram. Setelah hampir 10 tahun, dia baru mengerti arti kehadiran gadis itu.
Mimpi indah di tengah mimpi buruk.
“Kesadaran jiwaku kembali setelah pemakaman Papa. Tentang Kak Fe, dia menyelamatka—”
Guntur menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya dan tidak membiarkan gadis itu melanjutkan perkataannya. Kehadiran gadis itu sudah lebih dari cukup. Dia mengeratkan pelukannya, lalu berbisik, “Ayo melewati batas.”
Putri terbelalak, lalu reflek mendorong Guntur hingga mundur beberapa langkah. Dia mencoba mencerna kata yang keluar dari mulut laki-laki di hadapannya. “Guntur, kamu minum obat terlarang, ya?”