Swara Guntur, 1998

Sayap Monokrom
Chapter #14

13. Menerjang Badai

“Terbanglah tinggi sebelum ditenggelamkan.”

Kak Fe, 1998.

****

Putri terbatuk dengan cahaya putih yang perlahan memperjelas penglihatannya. Orang yang dilihat ketika sadar adalah Feni. Perempuan itu menepuk-nepuk pipinya hingga samar-samar terdengar suara.

Feni berkata, “Putri, ayo kita pergi dari sini sebelum para penjaga datang!”

Putri melihat pakaiannya yang kini tertutup almamater biru milik Feni. Dia mencoba mengingat kejadian sebelumnya dengan menahan pening. Namun, justru air mata yang menetes ke pipi. Feni memeluknya erat sambil terus meminta maaf karena tidak bisa menolong gadis 17 tahun itu dari nafsu para pria bersenjata.

Satu jam tidak cukup bagi ketiga pria tidak dikenal itu untuk memuaskan nafsu. Saat Putri sadar dari pingsan, mereka terus melakukannya hingga gadis itu kembali pingsan. Parahnya, itu berlangsung selama lebih dari 8 jam.

“Meskipun mustahil, semoga kamu bisa melupakan yang dilakukan pria-pria brengsek itu,” kata Feni dengan lirih.

Feni membantu remaja itu untuk duduk, lalu menaikkan ke punggung. Putri masih menangis dalam diam. Tangan gadis 17 tahun itu gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Dengan sisa tenaga yang ada, mahasiswi itu berlari sambil menggendong.

Putri menempelkan dagu pada pundak Feni dengan lemas. Dari jarak sedekat itu, dia bisa mendengar napas Feni yang terengah-engah setelah keluar dari gedung rahasia yang terletak di tengah hutan. Perempuan yang menggendongnya pun berlari sejauh mungkin dari tempat paling mengerikan yang pernah ada.

“Kak Fe, istirahat dulu,” ucap Putri dengan lirih.

Feni terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. “Kamu udah lemes banget, ya? Sebentar lagi, kita bakal ketemu jalan besar. Sabar dulu, ya?”

“Kak Fe yang udah kelelahan.”

Feni terkekeh. “Aku? Mana mungkin aku kuat gendong kalau segini aja udah capek?”

“Bohong.”

Feni pun memperlambat larinya dan berjalan biasa dengan kaki terseok-seok. Suara serangga malam pun tidak lagi tersamarkan. “Anggap aja bohong dan aku beneran kelelahan. Jadi, kita gak perlu istirahat dan cepet dapat pertolongan supaya aku gak perlu gendong kamu lagi.”

“Kak Fe gak takut di sini ada hewan buas?” tanya Putri, melihat sekeliling yang gelap dan hanya mengandalkan cahaya bulan.

“Manusia lebih mengerikan dari hewan buas,” jawab Feni. Putri diam sejenak untuk berpikir.

“Kak Fe benar. Mereka punya akal, tapi gak punya hati. Aku tahu, gak semua manusia seperti itu, tapi justru manusia-manusia mengerikan itu yang lebih sering muncul akhir-akhir ini,” timpal Putri.

Feni menelan ludah sambil menghela napas lelah. Dia membenarkan posisi Putri yang sedikit merosot. Kakinya sudah tertatih-tatih. Bagian paling menyakitkan saat dirinya mengingat kejadian 12 Mei.

Lihat selengkapnya