“Sejauh ini, ini pilihannya yang paling jauh.”
Guntur, 1998.
****
Setelah beberapa menit meninggalkan dua remaja yang sedang jatuh cinta, Henri kembali dengan wajah cerah. Namun, dia memiringkan kepala ketika melihat Putri dan Guntur diam dengan memalingkan wajah satu sama lain. “Tunggu-tunggu! Kenapa, nih? Kalian marahan?”
Henri pun duduk di antara keduanya saat tidak ada yang menjawab. “Hubungan kalian belum sampai 24 jam, tapi udah timbul perpecahan begini? Kalau ada masalah, selesaikan dengan diskusi yang sehat. Saling mendiamkan tidak akan menyelesaikan apa pun.”
Guntur dan Putri menoleh ke mahasiswa itu dengan wajah muram. Henri menatap keduanya secara bergantian hingga memahami akar permasalahan mereka. “Khawatir soal perbedaan keyakinan?”
Kedua remaja itu mengangguk bersamaan. Putri melirik Guntur dengan sudut matanya, lalu menatap Henri. “Seperti yang Koh Henri bilang, kami pacaran baru beberapa jam lalu, tapi sudah bertengkar. Apa perbedaan itu gak menjadi penghalang di masa depan?”
“Perbedaan kebiasaan dan budaya setiap kepercayaan memang sering kali menimbulkan perpecahan, tapi itu gak cukup merusak suatu hubungan. Berakhir atau tidaknya hubungan tergantung keputusan masing-masing,” jawab Henri dengan tersenyum tipis memandang langit penuh bintang seolah-olah ada seseorang di sana. Dia mengambil jeda beberapa detik, lalu berkata, “Feni yang mengajarkanku semua itu.”
“Apa lagi yang Kak Feni bilang tentang itu? Dia juga membahas pernikahan?” tanya Guntur dengan wajah penasaran.
Henri berpikir sejenak untuk mengingat ingat. Dia pun berdiri menatap langit sambil tertawa kecil. “Feni selalu bilang kalau itu mustahil.”
“Ikatan itu tidak akan terjalin sampai ada salah satu yang mengalah,” ujar Putri menoleh ke wajah Guntur dengan sorot kecewa. Laki-laki itu membalas tatapannya begitu dalam.
****
Di pertigaan jalan, Guntur dan Putri berpisah dengan Henri yang tinggal di rumah aman yang arahnya berlawanan dengan tempat mereka. Pasangan itu berjalan beriringan tanpa suara ditemani lampu jalan. Hanya ada suara angin dari pepohonan rimbun depan rumah warga.
Putri mempercepat langkah saat hampir sampai rumah yang ditempatinya untuk sementara. Guntur tiba-tiba mencekal lengan gadis itu. Tanpa kata, laki-laki tersebut berjongkok untuk membenarkan tali sepatu sang gadis. Perempuan berbibir tipis itu tersenyum getir.
“Seharusnya, hubungan ini gak ada sejak awal,” kata Putri seraya memundurkan kakinya, sehingga Guntur gagal mengikat tali sepatu itu. “Setelah sepuluh tahun tidak pernah ada balasan surat-surat yang kukirim, kenapa baru sekarang kamu mau hubungan kita lebih dari teman, Tur?”
“Bisa jawab pertanyaanku?” tanya Putri saat laki-laki di depannya terdiam.
Guntur masih berjongkok dengan kepala menunduk. Tidak ada jawaban yang bisa menjelaskan perasaannya. Sejujurnya, di benak lelaki itu masih penuh keraguan. Putri menunduk, lalu melihat tali sepatu yang tidak terikat.
“Aku tahu, Tur! Kamu cuma kasihan, kan?”