Swara Guntur, 1998

Sayap Monokrom
Chapter #17

16. Awal Kebebasan

“Berlarilah kencang sebelum dihilangkan.”

Henri, 1998.

****

“Rumah ini masih kelihatan bagus. Sayang kalau gak ada yang menempati,” ujar bibi Guntur sambil mengedarkan pandangan di ruang tengah.

Mei 1998 terasa amat panjang bagi Guntur yang meninggalkan sekolah selama beberapa hari semenjak kerusuhan. Puluhan surat tertumpuk berantakan di atas meja ruang tamu. Beberapa dari teman dan wali kelas yang mempertanyakan keberadaannya, hingga surat terbaru yang mengucapkan belasungkawa.

“Guntur masih sekolah. Jadi, gak mungkin kalau dia tinggal di sini sendirian!” sahut paman Guntur sambil mengangkat barang-barang untuk diletakkan ke bagasi mobil.

Baru beberapa minggu yang lalu pindah ke daerah ini, kini Guntur harus pindah lagi. Paman dan bibi Guntur kemarin datang ke rumah aman dan membawanya kembali ke rumah peninggalan mamanya. Dia tidak sempat berpamitan dengan orang-orang di rumah aman karena pamannya terburu-buru. Mereka takut apabila terjadi hal buruk lagi apabila bergerak lambat.

“Kamu udah selesai siap-siap? Ayo cepat masuk mobil sebelum macet karena demo,” tanya sang paman yang seraya mengambil kunci mobil di meja. Guntur mengangguk, lalu membereskan amplop dan kertas di meja dan memasukkan ke ransel.

Lelaki itu berjalan bersama bibinya ke luar rumah. Dia menutup pintu dan menguncinya. Dengan langkah berat, dia berjalan di halaman menuju pagar. Ketika menggenggam pagar, ingatannya melayang ke lima hari yang lalu, di mana semua yang tersayang masih berpijak di bumi yang sama.

“Aku gak akan membiarkan perjuangan mereka sia-sia!”

Guntur tersentak dalam lamunan. Dia terlalu larut dalam kesedihan hingga lupa kalimat yang pernah dia ungkapkan. Laki-laki itu memegang dada yang bergemuruh. Semangat yang sempat hilang pun kian membesar.

“Paman, Bibi, kalian boleh pergi dulu. Guntur akan menyusul besok!” ujar Guntur tanpa ragu kepada paman dan bibinya dari luar kaca mobil.

“Besok? Gak mungkin kamu ke Bandung sendirian, Gun!” ungkap sang bibi dengan cemas.

“Iya, Gun. Kita juga gak tahu besok keadaan Jakarta akan seperti apa. Kalau terjadi kerusuhan kayak kemarin gimana? Kami di Bandung udah cukup kehilangan kemarin,” timpal Paman.

“Masih ada urusan yang mau Guntur selesaikan di sini. Akan kukabari lewat telepon umum kalau urusanku sudah selesai. Kalian tenang aja, aku udah berlari ke sana kemari sejak hari kerusuhan. Kalau hanya pergi ke Bandung sendirian, tidak masalah sama sekali.”

“Emangnya ada urusan apa di sini, sampai kamu gak bisa pergi bareng kami?”

“Aku akan ikut demo. Kalian gak perlu khawatir. Guntur bisa jaga diri dan gak akan ikut kelompok yang anarkis.”

Lihat selengkapnya