Akhir 90-an adalah era penuh kebebasan. Fashion, teknologi, dan seni tampil sebebas-bebasnya demi menyongsong sebuah milenium baru. Namun, di Indonesia saat itu kebebasan masih terbelenggu.
Di dalam sebuah bilik suara, Sandi berdiri tegang menatap selembar kertas di tangannya. Tampak deretan gambar bintang, pohon beringin, dan kepala banteng di kertas itu seakan menuntut pemuda berusia 25 tahun itu untuk segera memilih salah satu di antara mereka. Sandi berkeringat hingga seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ia kenakan menjadi sedikit basah. Kakinya yang mengenakan sepatu pantofel tidak bisa berhenti menghentak-hentak lantai.
Di tempat lain, sepasang kaki yang mengenakan sepatu kets melangkah dengan santai lalu berhenti tepat di hadapan sebuah dinding. Lalu perlahan kita melihat bagian atas dari sepasang kaki itu. Mulai dari skinny jeans yang robek di bagian lututnya hingga sebuah Walkman yang terkait di saku celananya. Sebuah jari tangan pun menekan tombol Play membuat pita kaset di dalamnya mulai berputar dan terdengar suara musik up beat bernada pemberontakan.
Sandi semakin terlihat tegang seiring alunan musik yang temponya terus naik. Tentu saja ia tidak mendengar musik itu. Pendengar sesungguhnya adalah Riska, wanita usia 21 tahun dengan rambut panjang yang terurai bebas ditiup angin jalanan. Kaos oblong yang ditutupi oleh jaket almamater melindungi badan kecilnya. Sementara lubang telinganya dilindungi earphone yang terhubung dengan walkman. Di hadapan Riska tampak dinding dengan mural wajah Presiden Soeharto. Mata Riska menatap tajam.
Mata Sandi menatap tajam pada gambar pohon beringin di kertas yang ia genggam. Sandi menurunkan kertas itu sedikit hingga kini dia bisa memandang paku yang ada di hadapannya. Sandi perlahan mendekatkan kertas di tangannya ke paku. Keringatnya mengucur deras. Semakin dekat kertas itu ke paku, suara musik yang tidak bisa didengar Sandi itu semakin menegangkan.
Dentuman suara pukulan drum semakin keras seiring Riska menggoyangkan sebuah kaleng cat semprot di tangannya. Dia lalu mengarahkan mulut semprotan ke gambar wajah Soeharto di dinding. Cesss! Riska dengan yakin menekan kepala semprotan. Cairan cat berwarna merah menyembur dan hinggap tepat di atas kepala Soeharto. Lalu tangan Riska menggerakkan kaleng cat semprot itu dengan bebas.
Di dalam bilik suara, tangan Sandi terdiam gemetar memegang kertas yang kini hanya berjarak beberapa milimeter dari paku. Kertas akhirnya menyentuh ujung paku. Namun, belum sempat ujung paku itu menembus kertas, Sandi mengangkatnya kembali dan segera melipatnya dengan rapi. Dia pun keluar dari bilik suara lalu berjalan ke kotak suara yang dijaga oleh seorang petugas.
Saat hendak memasukkan kertas suaranya ke kotak suara, tangan Sandi tidak berhenti gemetar membuat kertas itu sulit untuk masuk ke dalam kotak. Sandi merasa petugas yang bertubuh lebih besar darinya itu tengah mengawasinya. Begitu selesai memasukkan kertas suaranya, Sandi langsung berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Dia berjalan sambil menundukkan wajahnya, takut ketahuan.
"Hey!"
Suara teriakan itu menembus suara musik dari earphone Riska. Dia menengok dan tampak agak jauh darinya ada seorang pria dengan tubuh tinggi kekar, berpakaian serba hitam, dan bergaya rambut cepak berdiri melotot ke arahnya. Dia terkejut melihat gambar wajah Soeharto di dinding itu sekarang jadi memiliki tanduk dan mata merah seperti iblis. Riska sadar apa yang terjadi, dia pun segera berlari.
"Tunggu!"
Suara teriakan itu menghentikan langkah Sandi. Dia menelan ludah dan perlahan membalikkan badannya. Tampak petugas penjaga kotak suara melihat ke arahnya. Sandi keringat dingin. Kakinya berputar perlahan di tanah, bersiap untuk kabur. Namun, petugas itu menunjuk ke meja tinta di sebelahnya. "Celupin jarinya dulu, Mas," kata petugas itu. Sandi tersenyum tegang.
Wajah Riska sangat tegang selama dia berlari dari kejaran pria kekar. Suara derap langkah sepatu bot pria kekar itu terdengar semakin mengintimidasi mengejar suara langkah dari sepatu kets Riska yang ringan dan bebas. Melihat jarak mereka semakin dekat, Riska pun berlari memasuki kawasan perkampungan padat penduduk. Riska dengan gesit meliuk melewati penduduk yang lalu lalang. Sementara pria kekar itu mengejar dengan mendorong para penduduk yang menghalangi jalan mereka.
Sandi berjalan pulang dari Tempat Pemungutan Suara sambil memandang jari kelingkingnya yang biru dipenuhi tinta. Dia berjalan di pinggir sungai sambil menatap refleksi dirinya di permukaan sungai. Dia melihat wajahnya di antara sampah plastik yang mengambang di atas sungai. "Payah!" gumam Sandi sambil menendang batu kerikil. Batu itu tepat mengenai refleksi wajahnya dan menimbulkan riak air. Refleksi dirinya jadi menyatu dengan sampah yang mengambang.
Riska berlari melewati gang-gang sempit hingga akhirnya menemui jalan buntu. Di hadapannya hanya ada besi pembatas jalan. Dia menengok ke belakang, tampak pria kekar itu semakin dekat. Riska mendekati pembatas jalan lalu menengok ke sungai yang mengalir di bawahnya. Setidaknya jarak antara dia dan sungai itu ada 10 meter. Dia melihat di tepi sungai ada jalan setapak. Pikirnya dia bisa kabur kalau bisa mencapai sana.
Namun, Riska masih ragu untuk terjun ke sungai. Dia memiliki satu masalah besar, tetapi begitu Riska melihat ke belakang, dia melihat masalahnya yang lebih besar. Pria kekar itu semakin mendekat ke arahnya. Dia berlari dengan wajah garang menyingkirkan semua yang menghadang. Riska tahu dia tidak mungkin menang melawannya. Maka, tak ada pilihan lain. Riska pun naik ke atas besi pembatas.
Sandi masih merenung di pinggir sungai. Dia melihat nametag yang menempel di bagian dada seragamnya. Dia menggenggam nametag itu dengan kesal. "Gara-gara ini ...," Sandi lalu melepaskan genggamannya seraya menghembuskan napasnya. Membuang semua emosi yang tertahan. Dia lalu mendongakkan kepalanya, melihat ke awan bebas.
"Ya Tuhan, Aku juga ingin bebas," gumam Sandi.
Wuuss! Riska melompat dari besi pembatas. Dari pinggir sungai yang ada di bawah, Sandi melihatnya terpana. Di mata Sandi, Riska tampak seperti terbang bebas di langit.
Byuur! Riska tercebur ke sungai. Tak lama kemudian, Riska muncul ke permukaan seraya mengepak-ngepakkan tangannya panik sambil teriak minta tolong.