Minggu pagi di bulan Juni 1997, Sandi duduk di teras kamarnya sambil membaca koran. Dia membaca berita terjadi kerusuhan di beberapa daerah yang menduga surat suara telah dimanipulasi. Mereka tidak terima Soeharto berhasil memenangkan pemilu kembali.
Sandi menaruh koran dan ganti membaca surat dari Ibunya. Isinya, setengah halaman pertama adalah ucapan kerinduan dan terima kasih atas uang yang dikirimkan oleh Sandi. Uang itu bisa membantu biaya sekolah adik-adiknya di kampung. Lalu setengah halaman sisanya adalah doa sang Ibu agar Sandi tetap amanah dalam bekerja.
Sandi meletakkan surat itu di sebelah koran yang menampilkan headline, "Mahasiswa Hilang Bertambah." Sandi merenung jika dia masih mahasiswa, apakah dia juga akan hilang? Hilang. Dia teringat pada Riska yang menghilang dari kehidupannya. Setelah percakapan mereka di depan dinding putih itu, Riska hanya bilang dia akan datang lagi. Namun, sudah lebih dari seminggu, Riska belum juga datang.
Meskipun memikirkan Riska, Sandi menjalankan pekerjaannya seperti biasanya. Para pegawai di kantornya sedang sibuk membicarakan proyek besar terkait Pelita (Pembangunan Lima Tahun) periode pemerintahan yang baru. Kabarnya proyek tersebut akan melibatkan pejabat pusat dan mendapatkan dana yang besar. Para abdi negara itu pun saling sikut demi bisa ikut mengeruk jatah dalam proyek besar itu.
"Arusnya semakin deras. Apa aku akan bisa bertahan?" gumam Sandi.
"Sandi!"
Sandi tersentak. Dia melihat Riska berdiri di luar pagar. Dia mengenakan kaos oblong, celana baggy, dan sepatu kets yang berbeda dari sebelumnya.
"Riska?" Sandi segera berlari ke pagar dan membukanya. Riska menatap Sandi yang memakai kaos singlet dan celana pendek.
"Kamu baru bangun?" tanya Riska seraya tertawa kecil.
"Ya kan hari Minggu," jawab Sandi membela diri.
"Berarti belum mandi ya?" tanya Riska lagi.
Sandi hanya tersenyum cengengesan.
"Ih! Cepetan sana mandi! Nanti kita telat," perintah Riska.
"Hah? Memang kita mau ke mana?"
"Udah, mandi aja dulu, buruan!" kata Riska sambil mendorong Sandi.
Sandi pun segera mengambil handuk dan peralatan mandinya yang ia taruh ke dalam gayung plastik.
Sandi pergi ke kamar mandi yang berada di sebelah kamarnya. Sementara Riska duduk di teras. Dia membaca berita di koran. Matanya memerah, tangannya meremas koran kesal. Riska menutup kembali koran tersebut tidak kuat menahan amarahnya. Dia melihat surat dari Ibu Sandi yang terbuka di atas meja. Riska tersenyum membaca surat itu.
BRAK! Suara Sandi membuka pintu kamar mandi mengagetkan Riska.
"Astaga, bikin kaget aja!" kata Riska kesal.
"Maaf, gak sengaja dorongnya kekencengan," kata Sandi sambil cengengesan.
"Kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanya Riska.
"Nggak, aku udah selesai mandi," kata Sandi sambil menjemur handuknya di tali jemuran.
"Hah? Cepat amat?" Riska kaget.
"Loh? Kan tadi kamu yang nyuruh cepetan?" Sandi juga kaget.
"Ya gak secepat itu juga. Mandi lagi sana yang bersih!"
"Ini juga udah bersih kok."
"Gak mungkin! Itu pasti masih banyak kotoran-kotoran yang terpendam di badan kamu belum kamu bersihin. Udah sana mandi lagi!"