Kencan adalah kegiatan yang asing bagi Sandi. Dia belum pernah merasakannya. Sebenarnya saat masa sekolah, Sandi ingin merasakan kencan dan pacaran seperti teman-temannya. Namun, belum sempat ia "menembak" wanita, ayahnya dikabarkan menjadi korban salah tembak.
Di masa itu tengah ramai rumor penembak misterius yang menghabisi para preman. Ayah Sandi hanyalah buruh biasa, tetapi adiknya adalah seorang preman. Usia mereka yang tidak terpaut jauh membuat wajah mereka mirip. Cukup mirip sampai malaikat maut pun terkecoh. Keluarga Sandi sudah berusaha menuntut keadilan, tetapi bagi rakyat kecil sepertinya keadilan terlalu mahal harganya.
Saat Sandi lulus SMP, dia sekeluarga pun hijrah dari kampung ayahnya ke kampung ibunya. Ibu Sandi mengeksplorasi kampung kelahirannya tersebut demi mencari peluang bekerja. Sandi yang baru masuk SMA justru menutup diri dari eksplorasi jati diri seperti remaja sebayanya. Dia bertekad tidak akan berpacaran sebelum bekerja. Dia tidak ingin senang-senang sementara ibunya banting tulang menghidupi dia dan adik-adiknya.
Kesungguhan hatinya tersebut berhasil membawanya sukses mendapatkan beasiswa kuliah di ibu kota. Saat kuliah pun Sandi tidak berani bereksplorasi soal asmara. Dia hanya ingin fokus lulus secepat mungkin dan segera bekerja. Saat lulus kuliah dia melihat lowongan pendaftaran CPNS. Sebenarnya Sandi masih benci pada pemerintah yang dia anggap telah merenggut nyawa ayahnya. Namun, di masa itu semua orang bilang padanya kalau ingin hidup mapan jadilah PNS. Maka, Sandi pun menjadi PNS.
Ternyata apa yang dikatakan orang-orang tidak sepenuhnya benar. Gaji Sandi memang bisa membantu menghidupi ibu dan kedua adiknya, tetapi tidak sebesar yang dikatakan orang-orang. Baru kemudian dia tahu bahwa hal itu bisa dicapai jika mengambil jalan kotor. Sandi tidak sudi menapaki jalan itu, tetapi untuk keluar dari sana ternyata lebih sulit. Sandi merasa terjebak. Dia terkekang dan orang yang membebaskannya adalah wanita yang kini ada di hadapannya.
Riska mengenakan rok biru muda dengan kaos putih garis-garis biru. Di rambutnya terselip jepit rambut kecil yang juga berwarna biru. Baru kali ini Sandi melihat Riska mengenakan pakaian yang feminim. Bahkan, Sandi yakin Riska memakai make-up, setidaknya lipstik merah muda pada bibir penuh senyumnya itu.
Sandi bertanya-tanya, apakah Riska berpenampilan seperti ini karena mereka sedang berkencan? Dia tidak sabar akan ke mana Riska mengajaknya pergi. Sandi tersenyum sendiri membayangkan tempat yang romantis.
***
Senyum Sandi hilang. Dia kini berdiri di trotoar dan tampak di belakangnya kendaraan lalu lalang. Sebuah tembok penuh debu jalanan terpampang di hadapan Sandi. Mata Sandi menatap sebuah poster jasa badut sulap yang terpasang di tembok tersebut. Sandi merasa gambar badut yang tertawa lebar itu menertawakan kebodohannya.
Riska mencabut poster-poster yang terpasang di tembok dan memasukkannya ke dalam ranselnya. Dia lalu mengeluarkan sebuah kaleng cat semprot dan melemparkannya kepada Sandi. Sandi kaget, refleks menangkap kaleng tersebut.
"Pertama, kamu harus coba graffiti karena ini yang paling aku ngerti," kata Riska.
Riska mengambil kaleng cat semprot untuk dirinya. Dia mendekat ke tembok dan meminta Sandi untuk memperhatikannya. Riska mengajarkan teknik dasar menggunakan cat semprot. Namun, Sandi tidak bisa fokus memperhatikan Riska, dia menengok sekitar takut ada petugas yang melihat aksi mereka.
"Santai, gak akan ada aparat yang lewat. Aku udah riset dulu nyari tempat yang aman buat melakukan ini sama kamu," kata Riska tanpa menengok ke Sandi.
Sandi tersentak malu. Namun, dia sadar bahwa Riska rela repot-repot menyiapkan ini semua untuk dirinya. "Mungkin ini memang kencan?" pikir Sandi. Riska lalu menengok ke Sandi dan memiringkan kepalanya ke tembok, meminta Sandi untuk mulai menggambar.
Sandi maju ke depan tembok. Riska berdiri mendekat ke sisinya. Sandi bisa menyium aroma lemon dari rambut Riska yang tertiup angin. Sandi jadi deg-degan. Dia mengocok kaleng cat semprot dan mengarahkannya ke tembok. Namun, jarinya tak kunjung menekan kepala semprotan. Dia menurunkan tangannya kembali dan menengok ke Riska.
"Eh ... Aku gak tahu mau gambar apa ...," kata Sandi.
"Coba keluarkan saja keresahan yang ada di hati kamu," kata Riska
"Keresahan?"
"Ya, seni adalah menyampaikan keresahan. Jadi kamu sampaikan saja apa yang membuat kamu resah sekarang. Apa yang bikin hati kamu gak tenang sekarang?"
Riska menatap Sandi dari jarak yang dekat. Keringat menetes di dahi Sandi. Dia tahu betul apa yang membuatnya tidak tenang sekarang. Sandi langsung membuang muka. Dia menatap ke tembok dan mulai menyemprotkan cat. Riska tersenyum bangga. Dia penasaran apa yang akan digambar oleh Sandi.
Senyum Riska hilang begitu melihat hasil graffiti yang dibuat oleh Sandi. Di tembok itu tertulis, "Jagalah Kebersihan." Gaya tulisannya datar dan kaku membuatnya lebih cocok disebut sebagai sosialisasi resmi dari pemerintah daripada graffiti. Riska menatap Sandi dengan mengernyitkan alisnya heran.
"Eh soalnya aku resah di sini kotor," kata Sandi mencari alasan. Dia sendiri tidak tahu kenapa menulis itu. Riska geleng-geleng dan tertawa.
"Kita coba yang lain aja ya," kata Riska sambil menepuk bahu Sandi.
Riska lalu mengambil kaleng di tangan Sandi dan memasukkannya kembali ke dalam tas ranselnya. Riska lalu mengeluarkan kembali poster badut sulap dan menempelkannya di depan graffiti yang dibuat Sandi.
"Loh kok ditempel lagi itu?" tanya Sandi.