Kehidupan Sandi sebagai abdi negara telah berubah. Sebelumnya dia hanya melihat kantor lembaga negara itu sebagai penjara seumur hidup, tapi kini dia bisa melihat ada secercah harapan akan kebebasan. Tiap akhir pekan, Sandi akan bertemu Riska dan melakukan apa yang mereka sebut dengan eksplorasi. Selama 2 hari Sandi akan merasakan kebebasan. Lalu di hari Senin, dia akan masuk kembali ke penjara dengan baju tahanannya itu.
Kalau beruntung, di hari kerja, Sandi bisa bertemu dengan Riska pada malam hari. Mereka mengikuti aksi perlawanan para mahasiswa melalui karya seni. Mulai dari mural kritikan, nyanyian protes, komik sindiran, sampai puisi pemborantakan. Situasi politik di jalanan semakin memanas. Begitu pula perasaan Sandi pada Riska.
"Masih belum ketemu juga apa yang kamu suka?" tanya Riska.
Sandi menatap wajah Riska, rasanya dia ingin bilang, "Sudah." Namun, dia paham Riska menanyakan soal medium seni.
"Belum. Maaf ya ...," jawab Sandi.
"Yaaah ... Padahal udah tiga bulan kita eksplorasi. Kayaknya bakat seni kamu itu terpendam dalaaaaam banget," kata Riska seraya tertawa kecil.
"Ya gak apa-apa sih, asal beneran ada. Kalau ternyata udah ngegali dalam ternyata kosong kan capek juga," jawab Sandi ikut tertawa.
"Tapi aku takut beneran gak ada sih. Soalnya kayaknya aku udah nyobain semuanya," kata Sandi jadi serius.
"Udah semuanya gitu? Memang apa aja?" tanya Riska sambil mengingat-ingat.
"Hmm ... Banyak sih. Aku sampai lupa udah nyobain apa aja."
"Kalau gitu kamu harus coba menuliskan semua pengalaman eksplorasi kamu ini."
"Nulis?" tanya Sandi heran.
"Iya, aku pernah dengar dari teman aku yang suka nulis. Dia bilang kadang kita tuh gak sadar sesuatu saat pertama kali mengalaminya. Menulis bisa membantu kita untuk merasakan kembali pengalaman itu dari sudut pandang yang berbeda. Jadi pas kita nulis dan membacanya lagi, kita jadi menyadari sesuatu yang baru dan apa yang kita cari ternyata selama ini ada di sana."
Sandi termenung memikirkan itu. Sepertinya hal itu ada benarnya.
"Eh tapi sebentar, kenapa kamu gak ngomong ini dari awal?" tanya Sandi.
Riska tersentak, "Iya ya, kenapa nggak ya? Kenapa pas udah tiga bulan baru sadar?"
"Apa kita ulang lagi semuanya tiga bulan ke depan?" jawab Sandi bercanda.
"Oke, Let's Go!" jawab Riska serius.
"Hah?" Sandi terbelalak kaget.
Setelah percakapan itu, Setiap malam Sandi menuliskan pengalamannya bersama Riska di sebuah jurnal. Dia mengingat kembali ekplorasi pertama mereka. Lalu menuliskan semua yang dia lakukan bersama Riska sejak itu selama tiga bulan terakhir. Sandi senyum-senyum sendiri saat menuliskan pengalamannya itu.
Bulan Juli, Agustus, September 1997 bagi Sandi sungguh membahagiakan. Dia tidak terlalu peduli pada isu krisis moneter yang saat itu melanda Indonesia. Keputusan Presiden Soeharto dalam menetapkan proyek-proyek yang akan dilanjutkan, termasuk proyek besar yang akan dilaksanakan oleh kantornya pun, Sandi tidak begitu peduli. Di pikirannya hanya ada Riska.
Selanjutnya, isi jurnal itu terus bertambah seiring kegiatan eksplorasi mereka. Selama bulan Oktober, November, dan Desember 1997 krisis ekonomi yang dialami Indonesia semakin memburuk. Presiden Soeharto meminta bantuan pada IMF. Namun, di kehidupan Sandi juga sedang mengalami krisis. Dia sudah tidak tahan lagi ingin menyatakan perasaannya pada Riska. Rasanya dia ingin meminta bantuan, tetapi dia tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Dia harus menghadapi krisis ini seorang diri.
***
Di penghujung tahun 1997, kantor Sandi disibukkan dengan pekerjaan administrasi tutup buku. Selain itu, mereka juga sibuk menyiapkan rencana proyek besar untuk tahun depan. Kabarnya awal tahun nanti, pejabat pusat akan datang untuk menilai kinerja mereka. Namun, Jafar malah jadi semakin rajin melimpahkan pekerjaanya kepada Sandi. Di tengah penderitaan itu, Sandi tetap tersenyum dengan membayangkan bahwa besok dia akan bertemu dengan Riska untuk merayakan tahun baru bersama.
"Kamu belakangan ini suka senyum-senyum sendiri. Lagi pacaran ya?" tanya Jafar penasaran.
"Eh ... Nggak, Pak." jawab Sandi setengah jujur.
"Ah pakai bohong segala. Kelihatan banget lagi. Pacar kamu orang mana?"
Sandi terdiam. Dia baru sadar bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Gak tahu, Pak," jawab Sandi akhirnya.
"Loh masa gak tahu? Kalau rumahnya di mana?" tanya Jafar lagi.
Sandi tertegun. Dia juga tidak tahu tentang hal itu.
"Gak tahu juga, Pak," jawab Sandi dengan senyum ironi.
"San, San ... Kok bisa kamu gak tahu apa-apa soal pacar kamu? Ah, saya tahu. Kalian kalau pacaran gak ngobrol ya? Tapi langsung ...."
Jafar lalu memberikan kode jari jempol kejepit dengan lirikan mata mesum.