Di awal tahun 1998, dunia dilanda krisis moneter. Jalanan dipenuhi para pencari kerja yang luntang-lantung mencari harapan. Mereka yang masih bekerja pun tidak bisa tenang karena tiap hari dihantui ketakutan akan di-PHK. Sandi sebagai PNS yang terbilang stabil, merasa aman dari krisis yang dialami orang-orang itu. Namun, dia tidak menyangka bahwa pekerjaannya yang aman ini akan menjadi krisis untuk kehidupannya yang lain.
Sandi masih terduduk syok usai rapat selesai. Kakinya tidak bisa berhenti menghentak lantai. Rasanya dia ingin berlari pergi untuk menemui Riska dan menyampaikan ancaman apa yang akan mereka hadapi. Namun, belenggu yang bernama pekerjaan menahannya untuk tetap berada di kantor lembaga pemerintahan itu.
Jafar datang dan duduk di sebelah Sandi. Dia merangkul dan menepuk-nepuk bahu Sandi dengan gembira karena berkat bantuan Sandi, dia berhasil membuat Pak Ridwan kagum dengan presentasinya. Jafar bilang tanpa Sandi, mungkin proyek ini tidak akan disetujui.
Dada Sandi justru terasa sesak mendapatkan pujian itu. Dia begitu bodoh sampai selama ini tidak menyadari bahwa pekerjaan Jafar yang ia bantu kerjakan adalah proyek untuk menggusur markas rahasia Aksi Swasembada Angan.
"Pak Ridwan sendiri nanti yang akan mimpin langsung penggusuran, eh relokasi. Nanti kamu juga ikut ya, soalnya kan kamu juga nanti yang ngerjain datanya. Pokoknya kita gak boleh bikin kesalahan. Proyek ini harus lancar!" kata Jafar.
"Kalau para pedagang pasar gak setuju gimana, Pak?" tanya Sandi.
"Ya itu kan pasar tanahnya milik pemerintah. Udah untung mereka dibolehin jualan selama ini. Kalau mereka gak mau pindah baik-baik. Ya kita paksa usir mereka dari sana," kata Jafar santai.
"Kalau paksa pakai cara kekerasan begitu kan bisa jatuh korban, Pak?" tanya Sandi lagi.
"Itu bukan urusan kita. Itu urusan aparat yang turun ke lapangan. Lagian mereka itu gak bisa dibilang korban. Ingat, San, itu tanah pemerintah. Kita yang korban! Mereka itu udah dapat untung dari tanah itu puluhan tahun. Sekarang giliran kita yang abdi negara ini dapat untung!" kata Jafar merasa benar.
Sandi mengepalkan tangannya, dia berusaha menahan agar kepalan itu tidak dia layangkan ke wajah Jafar.
"Kapan waktu penggusurannya, Pak?" tanya Sandi setelah agak tenang.
"Kalau sesuai rencana sih, tanggal 8 Februari nanti. Tapi ini rahasia, San. Kondisi di luar lagi panas. Pak Ridwan gak mau kalau sampai proyek ini jadi sorotan," jawab Jafar.
Masih ada waktu. Pikir Sandi. Dia harus memberitahukan ini pada Riska dan teman-teman di markas rahasia agar mereka bisa mengantisipasi. Entah apa yang akan mereka lakukan, dia sendiri juga tidak tahu, tetapi yang jelas dia ingin agar Riska tidak menjadi korban.
***
Semua terdiam ketika Sandi selesai menceritakan soal proyek penggusuran. Beberapa dari mereka kaget baru mengetahui status Sandi sebagai seorang PNS. Sempat terjadi perselisihan menganggap Sandi adalah mata-mata pemerintah. Akhirnya, Riska bilang dia yang mengajak Sandi dan justru keadaan sekarang membuktikan bahwa Sandi adalah mata-mata mereka di lembaga pemerintahan. Sandi adalah senjata rahasia mereka yang tidak diketahui oleh musuh.
"Karena ada Sandi, kita jadi tahu informasi ini. Kita bisa melakukan antisipasi. Sekarang kita fokus memikirkan hal itu saja," kata Riska meyakinkan teman-teman yang lain.
Mereka pun setuju dan mulai berdiskusi. Mereka merencanakan untuk mengajak para pedagang di pasar untuk bersatu melawan aksi penggusuran. Mereka juga akan memberitahukan informasi ini pada teman-teman mereka di media agar proyek ini mendapatkan sorotan. Diskusi tersebut berlangsung sampai malam hari.
Beberapa orang telah pulang sementara yang lainnya tetap tinggal. Mereka memainkan gitar dan bernyanyi bersama di hadapan api unggun. Biarpun sedang berada di tengah krisis, mereka tetap ingin mengekspresikan diri mereka.
Riska dan Sandi termasuk yang tetap tinggal. Mereka duduk bersama menyaksikan teman-teman yang lain menari hip-hop di pojok ruangan disinari cahaya lampu petromaks. Mereka tertawa melihat koreo tarian baru dari anak-anak itu. Mereka mencoba memadukan tarian robotik modern dan tarian tradisional yang luwes.
"Ini baru namanya eksplorasi," kata Sandi seraya tertawa senang. Dia tulus memuji.
"Maaf ya, aku gak bisa bantuin kamu eksplorasi lagi," kata Riska agak sedih.
Sandi agak kaget, "Oh... Gak apa-apa. Kayaknya udah kelamaan juga aku eksplorasi. Mungkin bakat seni aku sebenarnya udah ketemu. Gambar komik, tapi bakatnya memang cuma segitu."
Riska tertawa mengingat gambar komik Sandi. Enam bulan berlatih dibimbing mentor, keahlian gambarnya hanya mengalami kemajuan dari seperti gambar anak TK kelas nol kecil menjadi seperti gambar anak TK kelas nol besar.
"Sekarang aku lebih mikirin, apa yang akan aku lakukan kalau semua ini sudah selesai?" kata Sandi.
"Maksudnya?" tanya Riska tidak mengerti.
"Ya kamu tahu kalau sekarang situasi politik semakin memanas. Aku baca berita sudah terjadi kerusuhan di beberapa daerah. Aku merasa sedikit lagi ini semua akan selesai," jelas Sandi, tetapi dia tidak menjelaskan bahwa dia takut setelah ini semua selesai, berarti hubungannya dengan Riska pun akan selesai. Dia belum menemukan alasan untuk bisa tetap bersama Riska.
"Semoga saja. Aku berdoa semoga tidak ada korban lagi," jawab Riska.
"Ya semoga ... Tapi kamu sendiri gimana? Apa yang ingin kamu lakukan setelah semua ini selesai? Gak mungkin dong kamu bikin graffiti terus? Apa angan-angan kamu, Riska?" tanya Sandi.
"Hmm ... Aku gak kepikiran. Mungkin nanti aku cari tahu setelah semua ini benar-benar selesai," jawab Riska.
"Kalau begitu aku akan gantian menemani kamu untuk eksplorasi mencari angan-angan kamu," kata Sandi.