Penggusuran pasar mungkin batal, tetapi Ridwan tetap lah jadi pemenangnya. Dia beruntung pada hari itu, tanggal 8 Februari 1998 terjadi kerusuhan lain di beberapa daerah. Berita tentang kerusuhan pasar di bawah komandonya itu tidak menjadi tajuk utama di surat kabar.
"Ini juga pasti karena Pak Ridwan punya koneksi dan power yang besar," kata Jafar yakin saat melihat koran yang hanya memberitakan peristiwa kemarin di satu kolom kecil saja. Sandi tampak tidak begitu peduli pada ocehan Jafar. Dia mengkhawatirkan Riska. Apa yang terjadi padanya? Apakah mereka akan bisa bertemu lagi?
"Kita gak akan ketemu dulu," kata Jafar menjelaskan bahwa Ridwan meminta proyek ditunda sampai situasi di luar mereda. Ridwan tidak akan datang berkunjung ke kantor mereka untuk sementara waktu. Namun, Ridwan meminta Jafar untuk tetap mengurus semuanya. Tentu saja, Jafar melimpahkannya pada Sandi.
Sandi diminta membereskan pasar. Dia harus membujuk para pedagang untuk pergi dari sana. Namun, mereka menolak Sandi. Bukan hanya para pedagang pasar, tetapi para pemuda yang tergabung dalam gerakan Aksi Swasembada Angan. Mereka semua melihat Sandi menyeret Riska dan membawanya kepada Ridwan.
Sandi menjelaskan bahwa dia terpaksa melakukan itu karena aksi yang dilakukan mereka kemarin itu berbahaya. Mereka tidak melihat situasinya secara luas. Mereka seharusnya pergi mencari tempat baru untuk markas mereka sehingga tidak perlu jatuh korban. Namun, anak-anak Swasembada Angan justru mengatakan bahwa Sandi lah yang kurang luas memandang situasinya.
"Melek!" seru mereka pada Sandi untuk membuka matanya lebih lebar. Peristiwa kemarin bukan soal tempat yang digusur, tetapi soal kebebasan yang direnggut. Kalau mereka pergi mencari markas baru dan membiarkan para pedagang kehilangan lapak jualan mereka, maka semua seruan perlawanan yang mereka teriakan selama ini hanyalah omong kosong. Tujuan mereka melawan agar semua rakyat merasakan kebebasan. Kalau mereka bisa hidup bebas, tapi membiarkan rakyat di dekat mereka menderita, lantas apa bedanya mereka dengan oligarki yang sekarang berkuasa?
Sandi termenung. Dia melihat markas yang kini jadi tempat jualan para pedagang yang lapaknya hancur karena kerusuhan kemarin. Beberapa dari pedagang itu berjualan dengan tubuh terbalut perban. Para pemuda membantu memberitahu warga yang ingin membeli ke lapak baru tersebut. Sandi melihat satu lapak di depan dinding menutupi graffiti, "Jangan!" tepat di huruf J yang dicoret hingga semua orang hanya akan bisa melihat tulisan, "Angan!" di dinding itu.
***
Pada tanggal 2 Maret 1998, cadangan devisa negara dikabarkan mencapai titik terendah. Pada saat itu, Sandi pun merasakan hidupnya berada di titik terendah. Dia tetap bekerja untuk pemerintah yang sekali lagi merenggut orang yang dicintainya. Sandi ingin keluar dari tempat itu, tetapi dia kepikiran nasib ibu dan adik-adiknya. Sandi menatap langit dan bertanya, "Ini semua pasti berakhir, kan?"
Sandi termenung saat melihat berita Soeharto dilantik untuk menjadi presiden ketujuh kalinya pada tanggal 10 Maret 1998. Dia menarik napas panjang dan memejamkan matanya. Rasanya segala harapan telah sirna. Setelah itu, situasi terus memburuk. Baik di hidup Sandi maupun di dunia luar.
Para Mahasiswa menyambut pelantikan Soeharo itu dengan demonstrasi. Kasus kerusuhan dan penculikan aktivis jadi semakin marak. Situasi ekonomi juga kian memburuk. Media massa akhirnya muak untuk bungkam. Mereka nekat memberitakan kenyataan dengan taruhan bahwa kantor mereka akan dibredel. Rakyat yang semula takut juga mulai berani bersuara. Namun, Sandi semakin lama justru semakin diam.
***
Pada bulan Mei 1998, situasi politik negeri ini semakin memanas. Kerusuhan atas dasar rasisme terjadi besar-besaran. Para penjahat itu menyasar orang-orang yang mereka bilang tidak bisa melek untuk melampiaskan kemarahan mereka terhadap keadaan ekonomi yang sulit.
Padahal para penjahat itu lah yang tidak bisa melek. Mereka tidak bisa melihat kebenaran. Mereka membenci penguasa yang menindas mereka, tetapi mereka juga menjadi penindas kepada sesamanya. Mereka pikir mereka beda, padahal mereka sama. Sama-sama rakyat yang tertindas.
Mahasiswa yang berunjuk rasa menyuarakan kebebasan juga menjadi korban. Beberapa dari mereka bahkan tewas dibunuh ketika melakukan aksi unjuk rasa damai. Hal ini memicu kemarahan seluruh negeri. Bahkan kabarnya mereka akan bersatu datang ke Jakarta untuk mengadakan aksi besar-besaran menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dan segera dilakukan reformasi pada kabinet pemerintahan.
Jalanan ibu kota menjadi berbahaya. Hal itu sungguh terasa bagi para pekerja saat mereka harus pergi-pulang kerja. Sandi sempat beberapa kali melihat langsung aksi bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Rasanya dia ingin berlari dan bergabung bersama barisan mahasiswa, tetapi sesaat kemudian dia tersadar.
"Kalau bukan gara-gara ini ...," kata Sandi sambil mencengkram badge logo pemerintahan di lengan bajunya. Sandi berjalan lunglai di pinggir sungai. Dia melihat permukaan sungai semakin dipenuhi sampah. Dia tidak bisa lagi melihat refleksi wajahnya. Sandi melihat ke atas. Dia mengingat saat pertama kali melihat Riska. Tanpa dia sadari, air matanya mengalir. Dia sangat merindukan Riska.
Saat Sandi tiba di depan pagar kosannya, dia terkejut melihat ada seorang wanita yang berdiri di sana menunggunya.
"Ibu?" kata Sandi terkejut.
Sri Aminah menatap Sandi. Dia bisa langsung menyadari bahwa badan putra sulungnya itu lebih kurus dari terakhir dia melihatnya.
***