Subuh pada 21 Mei 1998, Sandi mendatangi pasar. Dia menjelaskan pada para pedagang bahwa Jafar akan datang bersama beberapa aparat pagi ini untuk mencoba kembali menggusur mereka. Pedagang marah kepada Sandi karena mengira Sandi meminta mereka untuk pergi agar tidak kembali terjadi kerusuhan. Namun, Sandi berkata bahwa dia akan bergabung bersama mereka untuk mempertahankan pasar.
Saat matahari pagi bersinar, Jafar datang bersama barisan aparat dan alat berat untuk menggusur pasar. Jafar terkejut ketika melihat di sana para pedagang sudah berkumpul siap melawan. Terlihat juga para pemuda yang kembali membantu mereka. Namun, hal yang paling mengejutkan Jafar adalah Sandi berada di paling depan barisan tersebut.
"Sandi! Kamu ngapain di sana? Tempat kamu bukan di situ!" tanya Jafar.
"Nggak, Pak. Saya sudah berada di tempat saya yang seharusnya," jawab Sandi tegas.
"Kamu sudah gila? Kamu mau dipecat?"
"Bapak gak perlu pecat saya, karena saya sudah menyatakan mundur!"
Sandi melepaskan kemeja dinasnya dan melemparkannya tepat ke wajah Jafar. Para pedagang tertawa melihatnya. Jafar menarik kemeja Sandi dan melihatnya tidak percaya.
"Hei! Kamu gak bisa mundur mendadak gini! Kamu harus kasih surat pengunduran diri sebulan sebelumnya!" kata Jafar kesal.
"Saya sudah kasih surat pengunduran diri saya sebulan lalu kok ke Bapak. Bukan salah saya kalau Bapak gak pernah baca berkas kerjaan di kantor," kata Sandi meledek Jafar.
Jafar geram. "Kurang ajar! Selama ini saya baik-baikin kamu karena saya pikir kamu bisa jadi anak buah yang loyal sama saya, ternyata kamu pengkhianat!"
"Bapak yang pengkhianat! Bapak pakai seragam abdi negara, tetapi korupsi pada negara! Bapak pelayan masyarakat, tapi Bapak menindas masyarakat! Bapak lah yang pengkhianat!"
Jafar semakin geram. Dia menengok ke para aparat yang ikut bersamanya dan memerintahkan mereka untuk segera memulai penggusuran. Sandi bersama para warga pun bersiap untuk bertahan. Para aparat melangkah maju.
"Turun!" teriak seseorang. Semua menengok. Dari dalam gang keluar pemuda berlari dengan wajah riang. Dia membawa tape recorder besar yang biasa mereka gunakan untuk latihan menari. Tape itu sedang menyiarkan siaran berita di radio. Terdengar suara Presiden Soeharto.
"Soeharto turun! Soeharto turun! Soeharto turun!" teriak pemuda itu di tengah-tengah barisan para pedagang dan aparat. Para pedagang bersorak riang. Para aparat pun menjatuhkan perisai dan pentungan mereka ke tanah lalu bersorak suka cita. Dua kubu yang tadinya hendak bentrok tersebut malah jadi berpelukan.
Jafar melongo kaget melihat pemandangan itu sementara Sandi mengangkat kedua tangannya menerikkan kemenangan. Jafar tidak terima rencananya gagal. Dia berlari naik ke salah satu alat berat dan secara sok tahu menjalankannya.
"Minggir! Ini tanah milik negara!" teriak Jafar dari dalam kursi kendali alat berat. Alat berat itu bergerak dan menghancurkan lapak di depannya. Warga dan aparat menyingkir untuk menghindar. Mereka ingin menghentikan Jafar, tetapi alat berat itu berputar tidak ketebak arahnya, membuat mereka kesulitan untuk mendekat.
Para aparat akhirnya fokus mengevakuasi dan melindungi para pedagang. Melihat Jafar membuat kerusakan semakin banyak, Sandi nekat berlari mendekati alat berat. Beberapa warga dan aparat mengikutinya. Mereka berhasil mendekati alat berat itu. Para warga dan aparat lalu bekerja sama membantu Sandi agar bisa naik ke ruang kendali yang tinggi.
Jafar terkejut saat melihat Sandi ada di sampingnya. Setelah menahan bertahun-tahun, akhirnya Sandi melayangkan kepalan tangannya ke wajah Jafar.
Bruk! Jafar jatuh ke tanah. Dia langsung diamankan oleh aparat agar tidak menjadi bulan-bulanan warga. Sandi pun turun dan bantu menenangkan warga.
"Ini tanah milik negara!" teriak Jafar masih merasa benar.
"Benar, Pak, ini tanah milik negara. Bukan tanah milik Bapak!" teriak Sandi di depan wajah Jafar. Jafar diam tidak berkutik.
"Tanah ini akan dimanfaatkan untuk kebaikan negara, kebaikan rakyat. Bukan untuk keuntungan pribadi orang-orang kotor seperti Bapak. Saya sudah mengirimkan bukti adanya korupsi di proyek ini kepada media. Sebentar lagi Bapak dan semua orang yang dapat jatah uang haram itu akan diadili!" kata Sandi.
Jafar terkejut panik. Dia lalu memelas memohon pada Sandi, "San, jangan, San, saya cuma nurutin perintah atasan. Saya cuma ngikutin Pak Ridwan. Ya, kamu harusnya laporin dia! Tangkap dia, San! Dia mau kabur ke luar negeri!"
Sandi terkejut, "Hah?"
"Beneran, San, kemarin dia bilang ke saya dia akan pergi ke luar negeri bersama keluarganya sampai situasi aman. Kalau situasinya begini, dia pasti gak akan balik lagi, San. Kamu harus tangkap dia! Biar dia aja yang dipenjara! Saya gak mau dipenjara, San!" kata Jafar terus memelas sambil menangis.