Sandi dan Riska baru saja selesai menjelaskan semuanya kepada Sri Aminah. Riska tersenyum dan mengangguk hormat, sementara Sandi menunduk takut menunggu reaksi dari ibunya. Dia malu telah membuat ibunya kecewa. Rasanya dia ingin hilang dari dunia ini.
Namun, Sri Aminah masih diam mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Suara detik jarum jam dinding terdengar jelas mengisi kesunyian di kamar itu.
Akhirnya, Sri Aminah menghela napas.
"Ibu percaya sama kamu, San. Tapi tetap saja harusnya kamu gak gini. Ini Riska kan anak perempuan. Ibunya di rumah pasti khawatir," kata Sri Aminah menasehati Sandi.
Sandi menunduk merasa bersalah. Namun, Riska malah tersenyum. "Tenang saja, Tante. Ibu aku gak akan khawatir. Beliau sudah bersama Tuhan."
Sandi dan Sri Aminah terkejut mendengarnya. Sandi tidak bisa berkata-kata. Dia merasa sangat bodoh karena baru mengetahui hal ini sekarang.
"Oh gitu ... Maaf ya, Ibu gak tahu. Kalau ayah kamu masih ada?" kata Sri Aminah.
"Ayah aku lagi kerja di luar kota, Tante. Makanya aku numpang menginap di sini. Lebih aman. Ada Sandi yang jagain," jawab Riska membela Sandi.
Sri Aminah mengangguk paham. Sandi masih terdiam. Dia mengingat kembali kejadian semalam. Dia baru tahu sekarang kenapa Riska ingin menginap di tempatnya.
"Tapi, tetap kamu harusnya bilang sama ayah kamu dulu. Sandi! Kamu kan anak laki-laki, harusnya kamu yang telepon ayahnya Riska semalam," kata Sri Aminah.
Sandi tersentak, "Maaf, Bu, aku gak kepikiran."
"Aku yang minta maaf, Tante. Soalnya aku yang maksa Sandi," sahut Riska. Dia hendak bersujud pada Sri Aminah, tetapi Sri Aminah mencegahnya, dia meminta Riska jangan melakukan hal itu.
Setelah itu, keadaan menjadi sunyi kembali. Sri Aminah juga bingung ingin bicara apa.
"Oh iya, Tante kenapa ke sini? Terus Sarah sama Sehan kok gak diajak?" tanya Riska mengalihkan topik.
Sandi kaget mendengar itu. Bagaimana Riska tahu nama kedua adiknya padahal dia tidak pernah menceritakannya? Sementara Sri Aminah malah berubah senang ketika ditanya soal dia dan anaknya. Dia bercerita bahwa kedua adik Sandi itu tengah libur sekolah dan menginap di rumah kakek mereka. Sementara dia mendapatkan undangan pernikahan anak dari sepupunya yang tinggal di Jakarta. Maka, dia datang mampir ke kosan Sandi untuk minta ditemani.
"Aku boleh ikut kondangan juga gak?" tanya Riska.
Sandi dan Sri Aminah terkejut.
"Beneran kamu mau ikut?" tanya Sri Aminah memastikan.
"Beneran, Tante. Tapi aku gak bawa kebaya. Tante ada kebaya lagi gak?"
Sandi melotot kaget dengan sikap Riska yang tiba-tiba itu.
"Ada. Kamu cobain dulu ya pas atau nggak," kata Sri Aminah dengan gembira.
Sri Aminah langsung mengeluarkan kebaya dari tas jinjing yang dia bawa. Dia lalu mengukurnya ke tubuh Riska. Mereka berdua tampak tersenyum senang mengetahui ukurannya sepertinya pas. Sri Aminah lalu meminta Sandi untuk keluar kamar agar Riska bisa mencoba kebayanya.
Sandi berdiri di luar kamarnya. Pikirannya mengawang. Apa yang baru saja terjadi? Rasanya kewarasannya telah hilang. Sandi berdiri terbengong menatap tiang jemuran.
***
Sandi berdiri terbengong di tengah acara pernikahan. Dia berpakaian rapi mengenakan batik dan celana bahan dan sepatu pantofel hitam. Baru kali ini dia menghadiri acara pernikahan. Selama ini ketika teman-temannya di kampung menikah, Sandi tidak pernah bisa hadir karena ada kuliah atau pekerjaan.
Sandi melihat sekitar. Acara pernikahan yang pertama dia hadiri itu tampak sederhana, diadakan di lapangan RT setempat dengan panggung yang biasa dipakai untuk acara 17-an. Ada meja prasmanan ala kadarnya dan di sisi panggung ada hiburan organ tunggal yang tidak berhenti membawakan lagu dangdut.
Sandi tidak begitu menyukai keramaian, apalagi di tengah orang-orang yang tidak dia kenal. Setelah bersalaman dengan keluarga mempelai bersama ibunya, dia memilih untuk menunggu di kejauhan saja. Sementara Riska justru tampak ceria menemani Sri Aminah berbincang dengan keluarga mempelai.
"Kamu beneran senang ya ikut ke sini?" tanya Sandi begitu Riska datang menghampirinya.