Swasembada Angan

Reyan Bewinda
Chapter #10

Jaket dan Seragam

Tidak lama setelah reformasi terjadi di Indonesia, dunia dihebohkan dengan ramalan akan tibanya hari kiamat. Namun, semangat tinggi para manusia yang ingin menyongsong harapan baru berhasil membuat mereka bertahan melawan ramalan. Negeri ini memasuki milenium baru. Segala sesuatu berubah dengan sangat cepat, kecuali perasaan Sandi pada Riska yang masih tertambat erat.

Di dalam sebuah bilik suara, Sandi berdiri menatap lembaran kertas di tangannya. Tampak deretan 6 gambar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta 24 gambar logo partai di kertas itu seakan menuntut pemuda berusia 32 tahun itu untuk segera memilih salah satu di antara mereka. Meskipun pilihannya jauh banyak, Sandi tidak lagi merasa tegang seperti dulu. Dia justru tersenyum bahagia dan dapat menentukan pilihannya dengan tenang.

Sandi keluar dari Tempat Pemungutan Suara dengan jari kelingking yang hitam keunguan oleh tinta. Kakinya yang mengenakan sepatu kets melangkah pelan, tidak seperti biasanya. Hari ini dia tidak perlu lari mengejar berita. Kalau saja dia masih bekerja di majalah terkenal itu, tentu dia sekarang akan meliput kejadian pemilu hari ini. Untungnya, kini dia bekerja untuk dirinya sendiri. Nama kantor yang dia dirikan itu tertulis di punggung Jaket yang sekarang dia kenakan dengan bangga.

Di hari pemilu seperti ini, rindu yang dirasakan Sandi semakin terasa menyiksa. Itu karena hari pemilu selalu mengingatkan Sandi pada pertemuan pertama dia dan Riska. Sejak hari mereka berpisah, Sandi tidak pernah mendapatkan kabar soal Riska. Kadang, terlintas di pikiran Sandi bahwa Riska sudah menikah dan hidup bahagia di ujung belahan dunia lain. Namun, pikiran seperti itu pun tidak sanggup membuat Sandi untuk bergerak pergi. Dia masih tinggal di kosannya dulu, berharap suatu hari Riska akan datang bertamu.

Sandi mengeluarkan iPod dari saku jaketnya. Dia memasang earphone di telinganya, lalu jari tangannya menekan tombol Play. Terdengar musik up beat bernada pemberontakan. Sebenarnya, Sandi tidak begitu menyukai lagu tersebut, baginya lirik lagu itu sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang. Namun, sosok yang mengenalkan lagu itu padanya akan selalu relevan sampai kapan pun. Sandi mendengarkan lagu itu bukan untuk mengenang Riska, melainkan agar hatinya memberontak dari belenggu perasaan silam tersebut. Namun, dia selalu gagal.

"Payah ...," gumam Sandi pelan. Dia tiba di tepi sungai dan memandang refleksi wajahnya di atas permukaan sungai. Rambutnya kini sudah panjang melebihi telinga. Sejak mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil, dia membiarkan rambutnya terurai bebas. Kalau Riska melihat penampilannya sekarang, dia pasti akan meledeknya. Sandi tertawa sedih membayangkan hal itu. Dia sadar bahwa dirinya tidak akan bertemu dengan Riska lagi. Dadanya terasa semakin sesak, dia ingin berteriak.

"Tolong!" teriak seorang anak kecil. Sandi melepas earphone-nya dan melihat ke sumber suara. Tampak seorang anak kecil mengepak-ngepakkan tangannya hanyut terbawa arus sungai. Di pinggir sungai tampak beberapa anak kecil lain berusaha mengejar dan berteriak memanggil-manggil nama teman mereka yang tercebur ke sungai itu. Sandi segera melepaskan sepatunya bersiap untuk melompat ke sungai, tetapi...

Wuuss! seseorang melompat dari pembatas jalan yang ada di atas sungai. Sandi terpana melihat orang itu seakan terbang bebas di atas langit. Rambutnya yang pendek tertiup ke atas melawan gaya gravitasi, menunjukkan keberanian orang tersebut. Orang itu mengenakan seragam yang dikenali Sandi, tetapi bagian bawahnya dia memakai rok. Ya orang itu adalah seorang wanita.

Byuur! Wanita itu jatuh ke sungai. Tak lama kemudian, wanita itu muncul ke permukaan sungai seraya mengepak-ngepakkan tangannya panik sambil teriak minta tolong.

Sandi kaget, "Lah, gak bisa berenang juga?"

Sandi segera melompat terjun dan menyelamatkan wanita itu dan anak kecil yang hanyut.

"Waaaah!" Sandi berhasil membopong wanita dan anak kecil itu ke pinggir sungai. Mereka disambut oleh anak-anak kecil lain yang tadi mengejar di pinggir sungai.

"Makasih ya, Kak ...," ucap anak-anak itu, sementara anak yang hanyut tadi masih menangis. Anak-anak itu pun pergi mengantar teman mereka yang basah kuyup itu pulang. Terdengar mereka berbincang, "Lah itu kakak yang perempuan kalau gak bisa berenang ngapain ikutan nyebur ke sungai ya? Gaya-gayaan aja."

"Ya namanya juga refleks hahaha. Sorry ya jadi ngerepotin kamu. Kamu jadi ikutan basah," ucap wanita itu pada Sandi seraya tertawa.

Namun, Sandi tidak mendengarkan ucapan wanita itu, dia sibuk menatap wajah wanita itu dalam-dalam. Wanita itu balas menatapnya. Mata mereka saling pandang dan terbelalak. Meskipun rambutnya kini pendek, tetapi Sandi bisa mengenali wajah itu. Wajah yang selalu muncul di pikirannya.

"Riska?" sapa Sandi.

"Hai ...," jawab Riska seraya tersenyum.

Sandi ingin maju memeluk Riska, tetapi Riska batuk-batuk. Sandi berubah jadi khawatir, "Kamu gak apa-apa?"

"Gak apa-apa kok, gak apa-apa," jawab Riska.

"Ini pasti karena baju kamu yang basah," kata Sandi.

"Kosan kamu gak mungkin masih deket sini, kan?" tanya Riska seraya tersenyum.

Sandi tersenyum, lalu tertawa. Riska pun ikut tertawa.

Lihat selengkapnya