Swastamita di Cakrawala

Halimah RU
Chapter #3

Desa Chandika (1)

Jejeran rumah dengan berbagai bentuk memenuhi pedesaan tersebut, rumah lebih besar dengan genteng yang terbuat dari tanah liat mendominasi tengah-tengah desa dan rumah gubug dengan atap jerami berada di dekat sawah yang akan meraka lalui beberapa saat nanti. Jarak mereka dengan desa tersebut tidaklah jauh hanya berbatasan dengan sawah sekitar tiga atau empat petak, sedangkan mereka sepertinya berada di tempat lebih tinggi dari desa tersebut. Cahaya kecil mondar mandir di tengah kampong, menandakan masyarakat desa masih beraktivitas di malam ini, mayoritas menuju ke suatu rumah yang cahayanya lebih terang di desa tersebut.

Cukup lama kedelapan pemuda memandangi desa tersebut, Tatsu memecah kesunyian dengan menyuruh beristirahat selama tiga puluh menit.

Aisyah, Santika, Zhang, dan Askara segera bergegas mencari sungai untuk menunaikan ibadah sholat isya’. Ke-empat orang tersebut sebelumnya telah beristirahat sekitar satu jam lalu karena Aisyah memohon untuk menunaikan sholat magribnya serta dialah yang menyuruh setiap orang memeriksa tas jika ada mukena atau sajadah di dalam ransel. Juan meminta Zhang untuk mengisi air sekalian karena beberapa botol telah habis. Sedangkan yang lain mulai mencari posisi masing-masing untuk duduk atau tiduran sebentar.

Min yang sejak tadi berceloteh mengeluh di setiap perjalanan sekarang diam berbaring di bawah pohon. Di bawah bintang-bintang yang mulai bersinar dan bulan sabit yang bercahaya temaram malam hari ini ke delapan pemuda berusaha keras untuk bertahan hidup dari kondisi yang belum pernah mereka hadapi. Siapa sebenarnya mereka? Masih menghantui pikiran masing-masing, dunia yang mereka jajaki antara nyata dan tidak nyata.

Lima belas menit kemudian mereka semua berkumpul kembali untuk mengisi perut -masing. Mereka mengaduk-aduk isi ransel dengan diterangi cahaya senter secara bergantian, di tas Askara terdapat roti isi tiga bungkus, di Danum ada camilan keripik dan permen masing-masing tiga bungkus, Juan ada ubi ungu yang di rebus terdapat delapan biji, dan terakhir di tas Zhang ada bakpao delapan buah. Mereka menyisakan roti isi, keripik, dan satu bungkus permen. Dalam diam delapan pemuda memakan makanan dengan iringan suara jangkrik, belalang, dan sesekali katak memberikan nuansa yang berbeda di malam hari ini. Cahaya senter milik Askara dan Min menerangi makan malam sederhana mereka, botol air yang telah diisi di sungai hampir habis di minum karena dahaga yang membuncah. Rasa lelah menggerogoti masing-masing dari mereka, badan ini sudah mulai lelah dan ingin beristirahat. Santika yang kedinginan mencari pakaian hangat di ransel dan menemukan jaket disana yang langsung dipakai. Setelah tiga puluh menit beristirahat mereka melanjutkan perjalanan, jalan yang mereka lalui tidak terlalu sulit dibandingkan dengan sebelumnya tapi mereka tetap berhati-hati karena jalan yang akan dilalui menurun.

Kegelapan malam mulai pekat, suara anjing dan burung hantu meneriaki di sekitar mereka, Tatsu dengan sigap membantu para wanita terlebih dahulu untuk turun. Lautan sawah dengan di dominasi tanaman jagung menyambut mereka di bawah. Juan yang turun pertama sudah hilang di tengah rimbunnya jagung untuk mencari jalan paling mudah dilalui menuju desa, setelah beberapa menit dia kembali dan memimpin rombongan menyusuri jalan yang dia temukan.

“Apakah ini desanya?” Tanya Danum yang sampai di urutan nomer dua setelah Juan.

“Iya.” Jawab Juan singkat.

Desa yang mereka harapkan telah ada di depan mata, bayangan bertemu orang lain dan kehidupan telah terbayang di pikiran mereka.

“Akhirnya kita sampai, akhirnya ada orang.” Aisyah bergumam sambil menitikkan air mata dan kemudian di peluk oleh Danum yang berada di sampingnya.

Di depan mereka di suguhkan pemandangan yang tidak biasa, gubuk berjejer kanan kiri dengan jalan setapak di tengah kira-kira tiga meter yang memisahkan. Cahaya temaram di setiap gubuk menandakan terdapat penghuni di dalamnya. Anyaman bambu yang berjejer menjadi dinding gubuk tersebut, dengan lantai yang masih berupa tanah. Keadaan desa ini terlihat lebih gelap dan menakutkan. Di depan mereka ada dua tiang kayu di kanan kiri yang di tancapkan yang di atasnya di ikatkan kain.

Tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi listrik, di depan mereka gelembung berukuran persegi panjang memanjang dari kanan ke kiri yang menyentuh kedua tiang. Huruf-huruf mulai melayang membentuk kata perkata didalamnya disusul foto dari di bawahnya.

Nama: Santika Rembulan

Agama: Islam

Umur: 21 tahun

 

Nama: Juan Perkasa

Agama: Kristen

Umur: 26 tahun

 

Nama: Askara Kurniawan

Agama: Islam

Umur: 24 tahun

 

Lihat selengkapnya