Sekitar setengah jam berjalan, warga menunjuk ke arah rumah yang berpagar kayu setinggi pundak terletak paling ujung gang dan paling lebar halamannya. Santika mengucapkan terima kasih kepada warga yang mengantarkan, kemudian dia menghilang di kegelapan desa.
“Ayo kita segera menemui beliau.” pinta Santika setelahnya bergegas melangkah ke arah pagar dan membukanya. Ternyata tidak di kunci, ketika dia membuka pagar suara lonceng yang terpasang di pagar mengeluarkan suara. Dia berhenti sejenak dan menengok ke belakang ke arah Zhang yang berada di belakangnya. Yang lain menoleh ke Santika cemas.
“Tak apa, jangan tegang. Yuk jalan San.” Zhang menenangkan.
Suara langkah kali dari dalam rumah terdengar pelan, tak lama kemudian pintu depan terbuka. Seorang perempuan yang sudah lanjut usia, sekitar 70 tahun terlihat dengan sanggul terpasang rapi dan baju zaman dulu yang harganya pasti mahal di era ini, baju bermotif bunga-bunga besar berwarna hitam dengan rok kain berwarna coklat.
“Cari siapa ya, Nak?” tanya nenek sambil berjalan dengan obor di tangan menghampiri. Nenek mengamati kedelapan pemuda dengan tatapan ganjil seperti melihat alien karena mereka memakai pakaian aneh serta barang bawaan di belakang punggung.
“Saya cari Mbah Harsa, Nek.” Jawab Santika.
“Benar ini rumah Mbah Harsa. Mari, masuk dahulu Nak.”
Nenek menyuruh mereka masuk ke rumah tanpa merasa curiga dan waspada. Santika menerjemahkan kepada ketujuh temannya dan mereka masuk ke rumah.
“Bapak masih berada di rumah Pak Surya. Mungkin sebentar lagi pulang.”
“Iya, Nek tidak apa. Kita bisa menunggu.”
“Kalau begitu Nenek buatkan minuman dahulu ya.”
“Tidak usah repot-repot, Nek.”
“Tidak kok.”
Setelah nenek masuk ke dalam rumah, empat belas mata menatap Santika dengan penasaran. Dia segera menjelaskan kepada mereka. Santika menanyakan kembali kenapa hanya dia yang bisa berbahasa penduduk sini, padahal dia merasa menjawab menggunakan bahasa yang sama dengan mereka. Zhang yang penasaran juga minta Santika mengajarinya.
“Oh iya, tadi maksudmu perayaan tuh apa?” Tanya Askara.
“Tadi warga bilang ada pernikahan di rumah siapa gitu, lupa namanya. Jadi mereka akan melakukan perayaan di rumahnya.”
“Malam-malam gini?” Nimbrung Min.
“Tak tau juga.”
“Terus kita mau tidur dimana nih? Aku sudah mengantuk.” Sekarang Aisyah yang bertanya dengan mata yang sudah merah mengantuk.
“Iya nih kasian, anak kecil ini.” Ujar Danum sambil tertawa.
“Kak Danum kok gitu sih…”
Setelah menunggu cukup lama nenek pemilik rumah membawakan minuman teh hangat, makanan ringan kue, dan bungkusan daun pisang yang terlihat banyak isinya.
“Silahkan dinikmati Nak.” Nenek mempersilahkan mereka sambil tersenyum.
“Ini apa San?” Tanya Tatsu menunjuk bungkusan daun pisang.
“Oh, ini lontong isi daging ayam, enak kok.” Santika yang juga sedang memakan makanan itu.
Santika kemudian menjelaskan kepada Nenek terkait kedatangan mereka, terkait pakaian yang dipakai dan beberapa hal. Nenek hanya menanggapi dengan menganggukkan kepala dan sesekali melihat ke arah ke tujuh teman Santika. Nenek juga minta dipanggil ‘Nek Harsa’ saja.