Swastamita di Cakrawala

Halimah RU
Chapter #8

Danau Pendem (3)

Esok hari.

Sudah hari keempat kedelapan pemuda menetap di rumah Mbah Harsa. Pagi ini mereka akan bersiap untuk menelusuri desa lebih lama, jadi memerlukan perbekalan lebih banyak. Kemarin sore Santika telah menemukan sumber cahaya putih yang dicarinya. Sebuah benda yang mungkin akan menghantarkan mereka menuju jalan pulang.

Sembari mempersiapkan perbekalan Santika menceritakan perjalanan dia dan ketiga temannya ketika menemukan sumber cahaya putih. Narendra yang biasanya berdiam diri sambil mendengarkan ikut menimbrung sembari memberi isyarat penjelasan dengan tangannya. Pagi itu memang akan menjadi pagi yang bersejarah untuknya, tersenyum ceria tanpa beban.

“Sebenarnya aku ingin menceritakan saat perjalanan nanti, tapi ya sudahlah kalian memaksaku.” Ujar Santika sambil memposisikan duduk di tengah lingkaran yang langsung terbentuk. Mbah Harsa, Nek Harsa, Biksu Mahayana, dan Pak Pandita juga ikut mendengarkan.

Pagi ini sambil menyantap sarapan, Santika menceritakan apa yang terjadi.

 

Sore hari kemarin

 

Sekitar pukul 4 sore, setelah selesai panen raya Desa Chandika sesuai janji keempat pemuda tadi yaitu Santika, Danum, Tatsu, dan Narendra melanjutkan misi pencarian cahaya putih di Danau Pendem. Mereka sempat mengajak teman yang lain akan tetapi tidak mau karena capek di sawah seharian, apalagi Juan, Zhang, dan Askara yang menemani Pak Pandita baru saja pulang. Akhirnya mereka berempat saja yang berangkat.

Perjalanan kali ini tidak terlalu berat daripada ketika pertama kali kemari, sambil mengbrol kesana kemari dan Narendra menerangkan berbagai macam seperti kerajaan, budaya, bahasa, bahkan silsilah keluarganya turun temurun yang memang harus diketahui oleh keturunan selanjutnya.

Narendra adalah anak kedua Pak Pandita, anak pertamanya perempuan dan telah berkeluarga. Seluruh keluarga Narendra berada di ibu kota dan hanya beberapa kali datang ke desa, jika urusan penting sering Bapaknya saja yang kesini. Ibu Narendra telah berpulang ketika dia berumur 10 tahun karena sakit, sehingga dia lebih menyukai bepergian dengan Bapaknya daripada sendiri di rumah. Kali ini Bapaknya pergi bersama Biksu Mahayana ke tempat Mbah Harsa, tentu hal itu tidak di sia – siakan Narendra untuk ikut.

Narendra juga bersekolah di suatu padepokan silat di pinggir ibu kota, dia juga telah bisa menulis dan membaca secara cepat karena bimbingan Ibunya yang sangat disiplin. Katanya, dia dahulu sangat nakal dan bandel, pernah suatu hari dia memanjat dinding kerajaan karena ingin melihat Tuan Putri yang sama usianya bersama dengan teman – temannya, akan tetapi Tuan Putri itu telah menikah dengan Pangeran Negeri Seberang.

Santika yang mendengar penuturan dari Narendra yang akhirnya bisa mendengar kehidupan pribadinya merasa senang, sejak pertama bertemu Narendra tidak pernah sekalipun menceritakan tentang dirinya. Dia yang biasanya hanya menjelaskan mengenai sejarah – sejarah seperti guru sejarah umumnya tanpa tambahan yang tidak perlu akhirnya menganggap kita sebagai teman juga.

“Oh iya Narendra, berapa usiamu?” tanya Danum memecah keseruan Santika menerjemahkan pembicaraan asal – usul Narendra.

“Oh iya, benar kita tak tau umurnya. Aku kira kita seumuman. Berapa umurmu Narendra?” Terang Santika memotong mode penerjemahannya dan bertanya ke Narendra.

“Aku… ehhm, kalian ada berapa hari oh bukan, berapa bulan di zaman kalian?”

“Kita ada 12 bulan dalam satu tahun.” Jawab Santika, sedikit bingung dengan maksud Narendra.

“Oh sama berarti.” Cengir Narendra setelah memastikan keraguannya.

Lihat selengkapnya