Setelah mengantarkan Biksu Mahayana di perbatasan desa, kesembilan pemuda melanjutkan perjalanan. Mbah Harsa yang semula menandai enam titik di peta bertambah satu titik saran dari Biksu. Sekarang mereka telah menyelesaikan tiga titik yang masih bisa dijangkau di sekitat desa, sekarang mereka ada menuju titik ke-empat kebetulan titik yang disarankan oleh Biksu Mahayana yang dekat dengan wilayah perbatasan desa.
Wilayah perbatasan desa merupakan wilayah familiar bagi kedelapan pemuda itu, mengingatkan pada awal perjalanan mereka disana. Tiang – tiang yang sama seperti malam itu, perbedaannya sekarang mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan di sekitarnya. Tiang penyangga terlihat sudah rapuh dan akan jatuh hanya dengan angin kencang, tanaman jagung yang lebat telah berganti dengan tanah sawah yang akan dibajak oleh pemiliknya. Bukit yang mereka turuni malam itu menjulang besar di depan mata mereka, bukan seperti bayangan mereka, itu hanya bukit biasa dengan pohon – pohon tinggi menjulang saja.
“Itu bukit yang akan kita telusuri.” Ujar Narendra.
“Apa!” Seru Santika dan Zhang bersamaan. Sedangkan keenam yang lain terkejut melihatnya tanpa tahu apa yang dimaksud.
“Kenapa?” Tanya Askara.
“Itu, bukit itu. Kita naiki bukit itu lagi.” Jelas Santika sambil menunjuk bukit di depan mereka.
Keenam pemuda yang paham hanya melongo dan tidak percaya dengan perkataan Santika.
“Iya, kata Narendra kita bakal naik bukit itu lagi.” Jelas Zhang mengulangi.
“Ayo teman – teman jangan takut. Kita pernah naik disana. Barangkali nanti kita bisa menemukan petunjuk jalan pulang.” Seru Juan dengan semangat sekaligus menyemangati yang lain.
“Iya, jangan nyerah.” Imbuh Min.
Mendengar perkataan Min membuat yang lain tidak percaya. Min setiap bangun pagi langsung menanyakan kapan pulang sekarang memberinya semangat, membuat yang lain meledek habis – habisan.
Perjalanan menaikki bukit tersebut tidak sesulit seperti pertama mereka menuruninya. Mereka akan menyusuri bukit paling lama empat jam, karena sekitar pukul empat sore sesuai kesepakatan akan kembali ke rumah. Tatsu sekarang ketuanya, sedangkan paling belakang ada Zhang. Tatsu berusaha mengingat jalan yang pernah dilaluinya, dibelakangnya ada Narendra yang membawa peta penunjuk arah.
Siang ini matahari mulai menyinari dengan terik. Perjalanan mereka telah sampai di tengah bukit sesuai petunjuk peta dari Narendra. Karena jalannya bercabang – cabang dan tidak tahu arah yang pasti mereka hanya berkeliling selama satu jam.
“Huh, capeknya. Kapan sampainya sih??” Omel Danum kesekian kalinya.
“Sabar ya Danum. Bentar lagi sampai.” Jawab Zhang sabar yang berada dibelakangnya. Kebetulan Danum berada di urutan dua terakhir sedangkan depannya ada Min, yang sejak tadi hanya menghalau serangga – serangga beterbangan.
Aisyah yang berada di depan Min biasanya mengeluh capek dan takut, sekarang lebih berani dan mengikuti petunjuk dari Tatsu di depan.
Hari keempat mereka berada di Desa Chandika membawa perubahan bagi kedelapan pemuda itu. Semula merindukan rumah dan tidak terima dengan keadaan ini menjadi terbiasa, tidak ada satupun dari mereka yang mementingkan diri sendiri, setiap informasi pasti akan dibagikan kepada masing – masing. Dan hari ini mereka berharap mendapatkan petunjuk berupa gelembung – gelembung persegi panjang lagi seperti hari pertama.
Tiba – tiba Askara meminta untuk berhenti karena kakinya keseleo. Akhirnya mereka beristirahat di dekat sungai, sembari mengisi air yang sudah mulai habis. Danum dan Juan membantu Askara menompres kaki yang keseleo dan meminta perlengkapan obat – obatan yang dibawa Min.
Narendra dan Santika sedang mendiskusikan titik di peta yang dimaksud oleh Biksu Mahayana. Zhang yang baru saja bergabung ikut membantu dengan mencoret – coret di tanah. Yang lain mulai tiduran, karena kecapekan dan mungkin sudah menunjukkan pukul dua lebih.
Sekitar tiga pulung menit beristirahat, Juan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Jika, titik tidak ditemukan maka besok kita mencari kembali disini. Askara yang masih keseleo menawarkan untuk menunggu disini, karena takutnya menghambat yang lain. Akan tetapi yang lain tidak setuju, para laki – laki menawarkan diri untuk menggendong Askara bergantian, apalagi dia kurus jadi lebih mudah.
“Ahhhh, ketemu!” Seru Narendra, sambil berdiri dan mengangkat kedua tangannya.
“Iya, ketemu!” Disusul teriakan Santika yang juga berdiri.
Zhang yang paling akhir berdiri, tanpa berkata apapun. Dia kemudian menunjukkan peta kepada keenam temannya, menjelaskan dimana titik itu berada.