Dia adalah obat saat luka yang kau beri tak pernah menemukan kata henti.
***
Seorang gadis belia melangkah sambil celingukan mencari seseorang. Raut wajahnya yang chubby tampak kebingungan. Beberapa tempat sudah ia datangi tanpa menemukan hasil. Sebuah senyuman tersungging mendapati sosok yang dicari tengah bersama kedua temannya, berdiri membelakanginya. Mereka tampak sedang berdebat kecil.
Ia berjalan pelan bermasksud untuk mengagetkan. Namun, apa yang di dengar membuatnya mematung.
"Gue udah bilang gak suka sama dia. Kenapa kalian maksa sih?" tekannya dengan nada jengkel. Sedang kedua orang di sebelahnya malah tertawa.
"Halah udahlah Den, gak usah malu-malu gitu. Lagian kalau gak suka, kenapa kalian ke mana-mana barengan terus?" ujar lelaki berambut cepak yang tak mempercayai ucapannya.
"Rian bener. Masa gak ada apa-apa dia ngintilin terus. Semua orang juga udah tau kali kalau lo sama di-"
"Gue bilang enggak ya enggak!" Bentaknya tak suka. Bahkan gadis yang kini berdiri di antara tiang penyangga di dekatnya sampai berjengkit. "Mana mungkin gue suka sama Cessara. Udah manja, cengeng, bodoh, jelek, gendut lagi. Asal kalian tau ya, gue bareng dia cuma karena mama yang maksa."
Ucapan tersebut membuat gadis itu tertegun. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia berharap apa yang didengarnya hanyalah khayalan atau setidaknya lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sedang bercanda.
"Haha, terus kenapa di sekolah nempel terus? Padahal mama lo juga gak bakal tau," Rian berusaha mengompori.
"Y-ya... gue cuma kasian. Emang siapa yang mau temenan sama gadis cengeng dan manjanya minta ampun? Hobinya juga nyusahin terus." Jawaban lelaki itu yang tampak menggebu-gebu membuat air matanya mengalir.
"Bener juga sih, tapi dia gak jelek-jelek amat kok."
"Vigo bener. Dia gak jelek cuma makannya kebanyakan, terus jerawat di dahinya harus dimusnahkan, hahaha."
Tawa mereka pecah. Setidaknya harapannya terwujud untuk tak mendengar tawa dari sosok yang beberapa menit lalu hendak ia temui. Rasanya mungkin akan lebih sakit.
"Udahlah kenapa jadi bahas dia sih? Malesin tau gak?"
"Iya juga. Gak penting banget. Oh ya terus lo sama Citra gimana?"
Pertanyaan Vigo membuat gadis itu menajamkan pendengarannya. Ada apa antara sahabatnya dengan teman sekelasnya itu?
"Ya gitu. Kemarin dia bales pesan gue." jawabnya antusias.
"Bagus deh. Lagian juga lo cocoknya sama Citra sih."
Lelaki itu mengangguk. Raut tegangnya tadi berubah setelah membicarakan Citra.
"Ya iyalah. Cessa emang kalah telak sama Citra. Bener gak, Den?" Vigo kini merangkul bahu temannya.
"Iya sih. Citra itu sempurna. Udah terkenal, cantik, pinter, aktif, juga dance-nya, hebat!"
"Beda banget sama Cessa yang Den?" tanya Rian yang tampak begitu tak menyukainya.
Dennis hanya tersenyum, menarik kedua cowok itu untuk pergi. Ia menatap nanar ketiganya yang berlalu, masih dengan membahas perbandingan dirinya dan Citra. Ia beralih memperhatikan tubuhnya. Ia memang banyak makan tapi tidak segemuk yang disebut lelaki itu. Hanya sedikit berisi.
"Jangan cengeng, Eca. Jangan." gumamnya menghapus air mata yang mengalir. Teringat sesuatu, ia menatap kotak makan yang hendak diberikan pada lelaki itu. Ia tersenyum miris lalu melemparnya ke tempat sampah.
"Cessara!"
Teriakan seseorang membuat cewek itu tersentak. Cessa membeliakan mata mendapati sang guru sudah berdiri di dekatnya sambil bertolak pinggang. Sedangkan Davina yang duduk di sebelahnya hanya meringis.
"Coba ulangi materi yang saya jelaskan tadi!"
"A-ah?" Cessa mengerjap bingung, melirik Davina lalu beralih pada Renata di bangku seberang yang menggeleng pelan, jelas tidak mau berurusan dengan guru Killer tersebut.
"Sudah saya duga, sejak tadi kamu tidak mendengarkan apa yang saya bicarakan," Simpulnya menatap Cessa tajam.
"Bu-bukan begitu bu, sa-saya-"
"Sudahlah, berbicara dengan kamu hanya membuang waktu saya. Lebih baik kamu berdiri di luar sampai jam pelajaran saya habis."
Cewek itu tak terima dengan keputusan sang guru.
"Cessara! Lakukan sekarang atau saya yang seret kam-"
"Iya bu, iya." Cessa segera berdiri. "Gak sabaran banget sih," gerutunya melewati sang guru.
"Bilang apa kamu?"
Ternyata pendengarannya sangat tajam. Cessa merutuk dalam hati. Memasang raut polos, ia menggelengkan kepala. "Enggak bilang apa-apa kok bu."
Wanita itu menghela nafas. "Ya sudah sana keluar!"
Cessa dengan enggan berjalan ke luar kelas. Derap langkah membuatnya menoleh, Diran dan Radit tengah berjalan ke arahnya. Cessa mengucap sukur dalam hati, tidak ada Dennis di sana. Davian? Tentu saja cowok itu tidak akan ditemukan di area jurusannya pada jam efektif seperti sekarang.
Melihat keberadaannya, kedua cowok itu saling berbisik. Mereka kemudian merendahkan sedikit badannya dengan raut wajah dibuat sesopan mungkin.
"Punten teh, numpang lewat," ujar mereka berbarengan. Kikikan geli keduanya membuat Cessa senewen.