Yakin kamu tidak akan pernah menyesali hari ini?
***
"Aku sebel banget, masa kak Dennis ajak cewek itu masuk? Terus mama juga baik banget sampe bikinin dia minum."
"Terus pake nunggu hujan reda segala buat pulang. Sengaja banget biar dianterin kak Denn-"
"Ups, kalau jalan jangan sambil ngelamun kenapa sih neng?"
Cessa menatap Diran yang berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkat, menahan diri agar tak menabraknya. Entah ia yang salah karena jalan sambil mengingat ucapan Ratuna semalam atau memang cowok itu sengaja menjahilinya. Cessa malah melengos, melewati Diran begitu saja.
Melihat sosok yang membuat batinnya berperang, Cessa mengepalkan tangan, menatap Leana yang berjalan berlawanan arah dengan tatapan fokus pada ponsel.
Tanpa berpikir panjang, ia menghadang cewek itu. Leana yang terkejut mendapati kedatangannya berusaha tersenyum.
"Ada hubungan apa lo sama Dennis?" tanya Cessa tak mau berbasa-basi.
Leana tergagap. Tatapan tajam yang dilemparkan Cessa membuat bulu kuduknya meremang.
"Kalian pacaran?"
Dengan kaku cewek itu menggeleng. Namun, Cessa tidak akan berhenti begitu saja. "Lo yakin?"
Cessa yang melangkah maju malah membuat Leana refleks mundur. "I-iya."
Sesuai keinginannya, cewek di depannya ketakutan dan seharusnya mudah saja membuat Leana mundur teratur. Akan tetapi mengingat bagaimana Dennis sangat melindunginya, Cessa merasa ini akan menjadi hal sulit.
"Kalau emang kalian gak pacaran-" Cessa menatap Leana yang menunggu kelanjutan ucapannya. "Jauhin Dennis."
Mata Leana membola, "Ke-kenapa?"
Cessa menyeringai. "Lo inget 'kan cewek yang bareng gue waktu di mall?"
Pertanyaannya diangguki Leana. "Adiknya Aden, kan?"
"Iya. Namanya Ratuna dan dia gak suka sama lo. Dia gak mau lo sama kakaknya pacaran. Apa itu cukup buat lo ngerti dan mundur?"
"Ta-tapi kenapa?" tanya Leana. Ada sarat kecewa juga kebingungan di matanya. "Apa ... gue punya salah sama dia?"
"Apa seseorang harus punya alasan untuk itu? Apa setiap orang memang harus selalu menyukai elo?"
Nada suara Cessa yang semakin meninggi membuat Leana menyimpulkan suatu hal. Tentang Renata yang memperingatkannya lalu kedekatan adik Dennis dengan cewek di depannya.
"Enggak, tapi cara bicara elo yang kayak gini ngebuat gue sadar." Leana memandangnya dengan lebih berani. Atau mungkin ia tidak memiliki cara lain selain melindungi dirinya sendiri.
Cessa tak bertanya, tapi satu alisnya yang terangkat cukup sebagai jawaban.
"Elo suka sama Aden."
Terkejut, Cessa pura-pura mendengkus. "Gak usah sok tau! Lo cukup ikutin perintah gue."
Leana menautkan jemarinya satu sama lain. "Ka-kalau gue gak mau?"
Gigi Cessa bergemeltuk. Tak menyangka kalau Leana lebih berani dari yang ia kira. Cewek itu tidak mengijinkan orang lain menekannya.
"Lo bakal nye-"
"Bakal apa?"
Cessa menoleh dan membeliakan mata mendapati Dennis sudah berdiri di dekatnya.
"Apa yang lo lakuin sama Lea?" tanya Dennis lagi.
Cessa malah merangkul Lea yang langsung menegang. Ia tersenyum miring, "Gak ada, gue cuma bilang bakal ngajak ke kelas bareng."
Mata Dennis memicing, tapi Cessa menghiraukannya dengan membawa Leana pergi. Sigap, Dennis menahan lengan cewek itu.
"Jangan macem-macem," ujarnya penuh peringatan. Cessa terkekeh, menghempaskan tangan Dennis. Lanjut melangkah bersama Leana yang ia cengkram erat bahunya.
Dennis memandangi keduanya hingga menghilang. Ia tahu Cessa pasti mengatakan sesuatu hingga Leana terlihat gelisah. Bodohnya, ia malah membiarkan Leana dibawa pergi begitu saja.
Getaran di saku membuat Dennis meraih ponselnya. Rahangnya mengeras mendapati pesan dari sosok yang tak pernah sudi ia simpan nomornya.
082223xxxxxx: Cuma satu macem gak masalah bukan?
"Sialan!" umpatnya. Dennis menyesal terlalu baik pada cewek itu. Lihat saja, satu kali ia melihat Leana terluka, maka Cessara tidak akan pernah bisa menampakan wajah di depannya lagi.
***
Satu hari ini gadis pujaannya menghindar lagi. Leana sengaja tidak membalas semua chat dan mengabaikan telepon darinya. Bahkan cewek itu tak ia temukan di manapun termasuk tempat favoritnya, perpustakaan.