Sweet Ambition

Akira Tan
Chapter #13

Bagian 12

Apakah semua sudah berakhir?

***

Sejak kemarin, Cessa tidak bertemu dengan cowok itu. Ia memang hanya keluar kelas ketika pulang tiba. Istirahat pun Samudra yang membelikan makanan. Melihat Dennis membuat perasaan ngilunya muncul tanpa diundang.

Cessa tidak ingin bertemu Dennis dulu, tapi hari ini ia tidak bisa menghindar. Cowok itu datang untuk menjalankan tugasnya sebagai fotografer.

Menghela nafas dalam, Cessa menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya yang terpoles make up semakin menambah kesan cantik. Pandangannya tertuju ke bawah. Rasa nyeri di kakinya masih terasa.

Sirly tidak tahu karena ia menyembunyikannya. Bahkan Cessa memaksakan diri latihan dengan menahan sakit, tidak ingin membuat pelatihnya khawatir. Cessa meremas tangannya. Setelah ini giliran dirinya yang tampil.

"Please, bersahabat untuk kali ini aja." gumamnya lirih. Cewek itu meneguk air untuk menghilangkan rasa groginya. Di babak penyisihan kemarin ia tidak segusar ini. Cessa menggelengkan kepala berulang-ulang. "Citra gak bakalan dateng, Citra gak bakalan dateng, dia gak-"

"Cessara?"

Cessa mendongkak. Satu orang panitia menghampirinya, "Giliran kamu, sudah siap?"

Ia masih butuh waktu untuk menormalkan detak jantungnya, menenangkan rasa gugup yang malah semakin menjadi, tapi Cessa tidak kuasa meminta itu.

"Kamu stay di pinggir panggung."

Mengangguk pelan, Cessa menuju tempat yang diberitahukan. Ia bisa berjalan normal meski dengan menekan rasa sakitnya, tapi dengan melakukan berbagai gerakan yang tidak bisa dibilang ringan, apa ia sanggup?

"Baiklah peserta selanjutnya, kita sambut Cessara Ayu Azzalia dari SMA Kencana!"

Cessa tidak bisa lari lagi. Ia hanya perlu membuktikan pada Dennis bahwa nama Citra tidak akan mempengaruhi kompetisinya. Cessa bahkan bisa melakukan pencapaian lebih dari apa yang Citra dapatkan. Mimpinya tidak akan hancur di waktu yang sama seperti cewek itu tiga tahun lalu.

Dennis hanya menggertaknya. Tidak lebih.

Cessa menatap para penonton yang lebih banyak dari kompetisi sebelumnya. Termasuk teman-teman sekolahnya yang bergerombol di sayap kiri ruangan.

Masing-masing dari mereka memegangi kertas berisi tulisan penyemangat. Bahkan teriakan mereka kini memenuhi ruangan. Tatapannya tertuju pada Dennis yang menatapnya datar. Cowok itu kemudian mengalihkan tatapan ke kamera di tangannya.

Dennis, gue bakal buktiin kalau gue bisa lebih hebat dari Citra. Gue bukan lagi cewek yang gak berguna. Lirihnya dalam hati.

Cessa mulai menggerakan kaki dan tangannya saat lagu mengalun. Kepercayaan dirinya mulai tumbuh mengingat perjalanannya hingga ia bisa sampai sejauh ini. Banyak sudah ia korbankan, termasuk kejadian yang menjadi awal mula Dennis membencinya. Cessa tidak boleh membuat semuanya sia-sia.

Di sela kegiatannya, ia dapat melihat tatapan kagum yang dilemparkan padanya, pula teriakan mereka yang membuat semangatnya semakin membara.

"Sh."

Tanpa sadar Cessa meringis. Walaupun begitu, ia berusaha tetap fokus. Meski ngilu di pergelangan kakinya semakin terasa.

Lagi, Cessa menahan ringisannya agar tidak keluar. Konsentrasinya mulai buyar. Tiba-tiba saja ingatan tak diundang menyerbunya bersamaan. Beberapa wajah bergantian melintas di benaknya. Tawa yang menggema, tangisan serta teriakan kekecewaan seseorang saling bersahutan.

Fokus Ca, fokus. Cessa berusaha keras untuk tidak terpengaruh. Namun, semua itu malah semakin membuat beberapa kejadian muncul silih berganti seperti sebuah slide.

Di sana bayangan gadis remaja dengan seragam olahraga melangkah riang. Tangannya memegangi sepasang jepit rambut berwarna biru langit.

Langkahnya terhenti, mendapati salah satu temannya mengendap-endap di dalam kelas yang sepi, mendekati tempat duduk seseorang dan memasukan sebuah ponsel ke tas yang bukan miliknya. Gadis itu tampak terkejut mendapati keberadaanya.

"Ka-kamu ngapain?"

"Lo gak liat gue abis ngapain?"

"T-tapi dia-"

"Ca! Gue tau lo juga gak suka sama dia."

"G-gak usah sok ta-"

"Gue tau Ca, kita sama."

"Tapi i-ini salah."

"Enggak lo gak salah. Gue yang lakuin ini. Dan lo cukup ikutin perintah gue."

Cessa menggelengkan kepala. Mengendalikan diri agar tidak kalah oleh bayangan masa lalunya. Saat matanya tertuju ke arah penonton, ia sudah tak menemukan lagi tatapan kagum seperti sebelumnya. Mereka tampak khawatir, bisik-bisik mulai memenuhi ruangan.

Ada apa? Dirinya tidak melakukan kesalahan. Ia masih tetap bergerak dengan kekuatan yang tersisa.

Sialnya bayangan wajah penuh air mata seseorang menghalangi pandangannya. Gadis belia itu menatap penuh luka.

"Kenapa, Ca? Gue salah apa?"

"Ma-maksud kamu apa? A-aku gak ngerti."

"Gue gak nyangka lo bakal lakuin ini sama gue."

Cessa menggeram. Pergelangan kakinya bertambah ngilu. Ia ingin berteriak, mengusir bayangan-bayangan yang menghancurkan konsentrasinya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Apa yang kamu lakuin Cessara?!"

"A-aku gak lakuin apa-apa. Aku b-bener-bener liat dia ngambil pon-"

"Bohong! Aku kenal kamu! Aku tau kamu lagi bohong!"

"Ja-jangan nuduh semba-"

"Aku gak nuduh! Aku punya bukti."

"Bu-bukti? Bukti apa?"

"Ini," Laki-laki itu mengangkat satu jepitan rambut yang tak seharusnya ia akui menjadi miliknya. "Aku nemuin ini deket meja Citra."

Lihat selengkapnya