Ajak aku berlari
Rasanya tak sanggup lagi berdiri di sini
***
Mentari di pagi hari sangat cerah. Namun, raut wajah Cessa tak bersinar seperti beberapa hari sebelum kompetisi. Awalnya ia sempat bingung kenapa kedua sahabatnya melarang membuka grup angkatan, juga meminta tidak masuk sekolah dulu dengan alasan kakinya belum sepenuhnya sembuh.
"Dia tuh gayanya selangit, tapi gitu aja gak becus! Bukannya buat bangga malah bikin malu."
Cessa tersenyum masam, kalau dirinya tidak becus, terus mereka apa? Sabar, Ca. Cewek itu berusaha untuk tak terpancing emosinya.
"Karma kali. Katanya sih dia pernah buat temennya jatuh di panggung pas kompetisi."
"Oh ya? Wah gak nyangka gue, ternyata dia licik juga."
Langkah Cessa terhenti. Dadanya berdetak cepat, bagaimana bisa mereka tahu tentang Citra?
"Dia juga katanya fitnah temennya gitu sampe kena bully. Kejam banget, kan?"
Cessa mengepalkan tangannya kuat, hendak berbalik untuk menghampiri dua cewek yang membicarakannya terang-terangan. Namun, seseorang dengan cepat merangkulnya.
"Jangan dengerin," ujarnya membuat Cessa berusaha melepaskan tangan itu dari pundaknya.
"Jadi ini alesan lo larang gue buat buka grup angkatan sama masuk sekolah, Re?"
Renata meringis, "Sorry Cess, kita cuma gak mau lo tambah kepikiran. Lagian juga gak usah lo tanggepin lah gosip kayak gitu."
Cessa terpengkur beberapa saat. Bagaimana jika kedua sahabatnya tahu kalau itu bukan sekedar gosip belaka?
"Yuk ah cus ke kelas!" ajak Renata membuatnya mengikut pasrah. Sampai kelas, teman-temannya langsung mengarahkan pandangan pada Cessa. Ia tahu itu bukan tatapan bersahabat seperti sebelumnya.
Cessa menatap Renata yang sudah duduk di sebelahnya, "Re, gosip apa aja yang kesebar?"
Renata diam sejenak sebelum memaksakan senyumnya. "Cuma gosip gak penting."
Cessa tahu Renata hanya ingin menjaga perasaannya. Tiba-tiba saja ia teringat kejadian hari itu, di mana Dennis mengatakan tentang masa lalunya. Ada Leana di sana. Cessa yakin kalau salah satu dari mereka yang menyebarkan gosip tersebut. Ah, apa Dennis belum puas melukainya? Bahkan di saat Cessa sudah tidak mengganggu cowok itu.
***
Dennis sedang fokus memandangi ponselnya, telinganya terpasang tajam mendengar pembicaraan teman-temannya yang masih membahas hal sama selama dua hari ini. Tentang kegagalan Cessa juga kesalahan cewek itu di masa lalu.
"Iya katanya sih dia fitnah temennya sampe dibenci satu sekolahan, terus pas kompetisi si temennya itu jatuh gitu kayak dia aja kemarin. Ya pastilah tuh cewek tertekan diperlakuin kayak gitu."
Dennis melirik Diran dan Radit yang menidurkan kepala di atas meja. Tumben keduanya tidak ikut bergosip. Bahkan sejak kabar itu menyebar, keduanya tidak berkomentar apapun seolah semua tidak berarti apa-apa.
"Percuma aja cantik, kalau hatinya busuk!"
Cowok itu mendorong kursinya keras membuat mereka serempak menoleh, termasuk Radit dan Diran yang menatap bingung. Tanpa mengatakan apapun, Dennis beranjak keluar dan berdiri di balkon kelas. Ia melonggarkan dasinya, keadaan kelas yang ramai membuatnya merasa gerah dan tak nyaman.
Seharusnya semuanya sudah selesai. Dennis sudah menang dan ia tidak perlu khawatir karena Cessa sudah tidak lagi mengganggunya. Namun, yang membuatnya terganggu adalah pembicaraan orang-orang tentang cewek itu.
Dennis tidak tahu siapa yang menyebarkan berita tersebut. Tidak mungkin Leana yang menyebarkannya. Cewek itu terlalu baik dan tidak akan tega melakukannya.
Cowok itu membuka ponselnya. Leana belum membalas chat-nya sejak pagi. Ia jadi khawatir terjadi sesuatu karena setahunya Cessa sudah kembali sekolah. Memasukan benda pipih ke saku, Dennis melangkah cepat menuju kelas pujaan hatinya.
***
"Yakin gak mau ikut?" tanya Davina untuk kesekian kali. Kebetulan dirinya dan Renata hendak meminjam buku ke perpustakaan.
Cessa kembali menggeleng. Ia yakin kalau di luaran sana keadaan lebih tidak aman. Jika biasanya Cessa tidak peduli dengan pembicaraan orang-orang, maka sekarang ia dibuat tak berdaya. Mungkin karena ia sadar masalah Citra adalah kesalahannya.
"Ya udah kalau gak mau." Renata menyerah. Sebenarnya ia dan Davina ikut mempertanyakan gosip tersebut. Namun, wajah tertekan sahabatnya membuat mereka memilih bersikap seperti biasa, tak ingin menghakimi karena Cessa pasti memiliki penjelasan untuk hal itu.
Setelah keduanya pergi, Cessa memilih membuka buku tulisnya, mencoreti halaman kosong untuk mengalihkan pikiran.
"Gak tau malu banget ya? Udah permaluin sekolah, tapi masih aja bersikap sok polos."
Cessa menghentikan gerakan tangannya. Menahan diri untuk tidak membalas kasak kusuk teman sekelasnya.
"Gue masih inget banget gimana bu Sirly bangga-banggain dia sampe gue bosen dengernya. Eh taunya sekarang malah- haha you know lah. Gak perlu gue jabarin, kan?"
"Iya, gue kira dia bakal ngalahin kak Deandra yang kemarin juara tiga. Taunya lebih parah, ck."
"Malu-maluin banget sih. Kayaknya bener yang orang bilang kalau dia kena kar-"
Brak!
Cessa memukul mejanya keras hingga beberapa cewek yang bergosip di depan tempat duduknya terperanjat. Salah satunya cewek berambut curly yang menatap ke arahnya dengan sinis.
"Biasa aja dong, kesindir ya lo?"
Dengan nafas menderu, Cessa membalas tatapan cewek itu. "Bukannya kalian emang sengaja nyindir gue?"