Apakah kata maaf saja cukup?
***
Gadis kecil itu tertawa sambil memegangi balon di tangannya. Wajahnya yang chubby dan imut terlihat semakin menggemaskan.
"Dennis suka warna apa?" tanyanya menatap anak lelaki yang kini mendongkak, memandangi beberapa balon di atasnya.
"Hm biru?"
"Jangan biru." Cegah gadis kecil tersebut membuatnya merengut. "Kenapa?"
"Biru kan warna kesukaan aku. Dennis jangan ikut-ikutan." Si gadis menggeleng, matanya yang lucu tampak melotot.
Tidak terima dilarang-larang, Dennis kecil berusaha merebut seutas tali yang mengikat balon berwarna biru tersebut. Namun, gadis di depannya tak mau kalah untuk mempertahankan benda di genggamannya. Sekuat tenaga ia mendorong Dennis hingga terjatuh, lalu berlari sambil tertawa kecil. Dennis bangkit untuk mengejar, tapi suara klakson menyadarkannya, matanya membola melihat teman perempuannya masih sibuk tertawa sambil berlari dengan sesekali menengok ke arahnya.
Dennis mengangkat tangannya. Kakinya tiba-tiba sulit digerakan, bahkan tenggorokan juga tercekat. Hingga semuanya terasa begitu cepat. Truk besar yang melaju kencang, tawa nyaring, hantaman keras hingga tubuh gadis kecil itu terlempar dan...
"Eca!"
Dennis seketika duduk dari tidurnya dengan nafasnya menderu. Ia melirik jam dinding yang menunjukan pukul satu dini hari. Dennis mengusap wajahnya yang penuh keringat, lalu menyentuh dadanya yang terasa sesak. Dennis meringis. Mimpi tadi terasa begitu nyata hingga tak sadar ia berteriak. Eca ... untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun berlalu, Dennis menggumamkan nama panggilannya untuk cewek itu.
"Argh! Gue kenapa sih?" lirihnya. Ia turun dari tempat tidur, melangkah ke arah balkon dan membuka pintu yang langsung menghadap ke kamar cewek itu. Lampunya mati, seperti beberapa hari terakhir.
Dennis terdiam masih tanpa mengalihkan perhatian dari bangunan di depannya. Ucapan Samudra sampai saat ini terus menghantuinya. Tentang cewek itu yang katanya tidak pernah membencinya.
Hingga detik ini, ia masih sulit percaya. Namun, setiap mengingat perlakuannya pada Cessa, ia akan merasakan sesak di dadanya.
Apa bener lo suka sama gue? Batin Dennis bertanya-tanya. Samudra memang tidak mengatakan secara jelas. Yang ia tangkap hanya Cessa tidak ingin kehilangannya, tapi mengingat Cessa yang berpacaran dengan Caka, tentu saja Dennis ragu.
Atau ... lo cuma takut kehilangan gue sebagai sahabat elo?
Cowok itu menggelengkan kepala. Kejadian beberapa hari lalu membuatnya tidak bisa berpikir jernuh hingga saat ini. Dennis bahkan membatasi diri, ia jarang ikut berkumpul dengan para sahabatnya. Davian yang sempat mendiamkannya sudah mulai mau berbicara meski ketus. Berbeda dengan kedua sahabat Cessa yang masih saja sering menyindirnya dan melemparkan tatapan benci.
Leana?
Cewek itu seperti mengerti dengan kondisinya yang sedang tidak ingin diganggu. Leana dengan berbaik hati memberikannya ruang untuk menenangkan diri.
Lama Dennis berdiri, hingga ketika merasakan udara dingin mulai menusuk kulitnya, ia memutuskan beranjak.
***
"Masih gak ada kabar?"
Pertanyaan Davian membuat sang adik mengangguk diiringi raut yang berubah muramnya. Davina merasa khawatir. Mungkin bukan hanya dirinya saja, melainkan juga cewek yang kini duduk di sebelahnya. Hampir satu pekan ini, Renata tidak pernah lagi menceritakan tentang para pacarnya yang sudah siap diputuskan. Cewek itu lebih banyak bungkam. Seperti saat ini, Renata hanya mendengarkan celotehan Diran yang tampak berusaha mengajaknya bicara.
"Sam gak ngsih tau?" tanya Davian lagi.
Davina menggeleng. Ia dan Renata sempat menanyakan pada cowok itu. Namun, Samudra bilang Cessa hanya bilang tidak akan datang ke sekolah lagi dan setelah dirinya bertengkar hebat dengan Dennis, Cessa sudah tidak bisa dihubungi.
Cewek itu hilang bagai ditelan bumi. Nomornya tidak pernah aktif, semua media sosialnya juga tidak menunjukan keberadaan Cessa. Padahal biasanya cewek itu tidak pernah satu hari saja absen dari dunia maya. Sepertinya Cessa memang sengaja menghindar dari semua orang.
Sebenarnya Davina merasa kecewa. Cessa tidak pernah jujur, cewek itu lebih memilih mendengarkan curhatannya dan Renata tanpa balik menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya. Entah bagaimana Samudra bisa tahu banyak hal tentang cewek itu. Mungkin Cessa tidak mempercayainya.
"Mungkin dia gak nganggep kita sahabat," ujar Renata menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya.
"Atau ... mungkin kita yang gak bisa ngebuat dia percaya." tambah Renata lagi. Cewek itu terkekeh pelan, tapi tidak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Diran tanpa ragu menepuk bahunya, menenangkan.
Rasanya ada yang kurang. Meski biasanya Cessa hanya akan ikut duduk tanpa banyak bicara karena ada di Dennis. Pun cowok itu yang akan langsung berhenti bercanda melihat kedatangan Cessa.
Sekarang bukan hanya Cessa. Dennis juga tidak ada, selalu menghilang dan baru masuk kelas saat bel berbunyi. Cowok itu tidak akan bicara jika tidak ditanya. Dennis terlihat sering melamun di kelas dan ketika ditanya oleh Radit dan Diran, ia hanya menggelengkan kepala, kembali sibuk dengan hobi barunya.
Awalnya mereka penasaran, berpikir Dennis akan terlihat senang mendengar Cessa tidak sekolah di Kencana lagi. Namun, dugaan mereka salah saat mendapati raut muram cowok itu.
***
"Aden?"
Dennis yang sedang memandangi rumput di bawahnya mendongkak. Ia tersenyum simpul, menepuk ruang kosong di sebelahnya. Leana mengangguk dan duduk di samping cowok itu.
"Nunggu lama?" tanyanya basa basi. Dennis hanya menggeleng pelan, kembali menunduk. Entah kenapa Leana merasa canggung. Mungkin biasanya Dennis yang akan mengajaknya berbicara terlebih dahulu. Tipikal orang seperti dirinya yang sangat sulit memulai pembicaraan membuatnya susah sendiri.
Leana memperhatikan wajah cowok itu. Dennis berubah setelah pertengakaran itu. Mungkin merasa bersalah atau .... Leana menahan nafas. Ia tak sanggup menyuarakan hasil pemikirannya tersebut.
"Mm kayaknya kita bicara nanti aja." Leana berdiri dari duduknya. Melihat Dennis yang seperti tidak menganggap keberadaannya membuat Leana tidak tahan.