Maaf dan tolong kembali
***
"Kenapa sih lo diem aja?"
Senggolan di bahu tak membuatnya terganggu. Dennis hanya melirik malas Radit, lalu kembali menatap benda pipih di genggamannya. Memandangi roomchat-nya dengan seseorang. Terakhir kali cewek itu mengiriminya pesan saat menggertaknya tentang Leana.
Tangannya bergerak ragu, beberapa kata yang ia susun bolak balik kembali dihapusnya. Dennis menghembuskan nafas, berakhir dengan memasukan ponselnya ke saku.
Bukannya Radit dan Diran tidak tahu itu. Mereka yang sedang bercanda di meja belakang diam-diam memperhatikan. Namun, Dennis masih enggan bercerita.
"Ke mana?" tanya Diran melihat cowok itu berdiri. Dennis berdecak dengan kekepoan sahabatnya. "Gak usah ikutin gue."
Keduanya saling pandang, kemudian mengangguk bersamaan. Dennis sendiri melangkah tak semangat keluar kelas. Masih ada beberapa menit sebelum bel istirahat berakhir.
Sejak kemarin, setelah mendengar cerita yang sebenarnya dari Lavanya, perasaannya menjadi tidak tenang. Dennis menyesal, tapi lebih dari itu dadanya terasa sesak setiap mengingat perlakuan kasarnya. Terlebih ketika ia tahu bahwa alasan Cessara melakukan kesalahan tersebut karena dirinya. Cewek itu menyukainya.
Dennis mendorong pintu di depannya, memasuki ruangan di mana biasanya Cessa berlatih. Ia memandangi penjuru ruangan. Dennis teringat lagi dengan apa yang dilakukannya. Lemparan botol yang hampir mengenai wajah cewek itu karena emosinya yang tidak bisa dikontrol. Ia masih begitu ingat, bagaimana raut terkejut sekaligus ketakutan Cessa.
Mendesah pelan, Dennis menatap cermin besar di depannya, rasanya ada yang kosong. Sebenarnya apa arti semua ini? Perasaan benci dan muak lenyap begitu saja, berganti dengan- Argh! Dennis tidak bisa mendeskripsikannya secara benar. Ia hanya merasa sangat ingin bertemu dengan cewek itu, memastikan keadaannya juga mengucapkan beribu maaf. Dennis merasa ada yang membunuhnya secara perlahan jika tidak segera melihat wajah itu.
"Ngapain lo di sini?"
Pertanyaan dengan nada sinis tersebut membuatnya menoleh. Renata tengah berdiri di pintu ruangan sambil bersedekap dada. Dennis tahu cewek itu masih sangat kesal padanya.
Renata menatapnya intens lalu mendengkus. "Gue gak nyangka, lo bakal nyesel secepat ini."
Raut puasnya tampak sekali. Namun, Dennis tidak bisa untuk sekedar menyangkal, tidak juga berbicara jujur.
"Apa sesakit itu?" tanya Renata yang melangkah dengan congkak. "Lo ada di ruangan ini dengan ...," Renata menatapnya lagi hingga Dennis tak nyaman. "Mata yang merah banget dan lo masih gak mau ngaku?"
Dennis membeliak, ia kemudian membuang pandangan.
Tepat ketika Renata berdiri di hadapanya, Dennis terpaksa membalas tatapan cewek itu. "Apa lagi?"
Lengkungan sinis yang masih menghiasi bibirnya membuat Dennis menggeram dalam hati.
"Cessa pasti seneng banget," ujarnya hingga menciptakan lipatan di dahi Dennis. Cewek itu mengangguk yakin. "Ya, karena dia gak hancur sendirian."
Dennis tahu tidak ada gunanya meladeni Renata. Ia memilih berbalik meninggalkan ruangan, mengabaikan teriakan cewek itu yang belum puas mentertawakan kebodohannya.
Dari kejauhan Dennis dapat melihat Leana yang berjalan berlawanan arah dengannya. Aneh, perasaan menggebunya saat melihat raut manis Leana tidak ia rasakan lagi. Mata cewek itu melebar mendapati keberadaannya, Leana tampak hendak menyapa, tapi Dennis memilih memberikan seulas senyum dan berlalu begitu saja.
***
Dennis memutuskan langsung pulang setelah bel sekolah berbunyi. Padahal biasanya ia akan ikut-ikutan nongkrong dengan Diran dan Lino karena Davian bukan orang yang hobi dalam hal tersebut. Cowok itu hanya sesekali ikut jika sedang bosan. Pun Radit yang selalu memilih menemani adiknya karena sang mama bekerja. Papanya sudah meninggal saat SMP.
Sebelum memasuki halaman, ia sempat menoleh ke arah bangunan depan rumahnya. Ratuna sedang berbicara dengan asisten rumah tangga cewek itu. Adiknya tampak ngotot, sedang wanita paruh baya di depannya terus menggelengkan kepala dengan raut sedikit kesal.
Dennis menekan klaskson hingga keduanya terlonjak. Setelah itu ia melajukan kembali kendaraannya dan memarkirkan sembarang.
Mengucap salam, Dennis memasuki rumahnya. Terdengar suara berisik dari dapur, mamanya yang hobi memasak pasti sedang bergelut dengan bahan-bahan makanan.
"Mama!" Teriakan Ratuna dari belakang membuat Dennis refleks menutup telinga. Ia hendak mengumpati sang adik ketika gadis belia itu malah menabrakan bahunya dan berlalu menuju dapur
"Mama!"
Dennis menggelengkan kepala. Memiliki adik seperti Ratuna memang harus benar-benar bersabar.
"Ada apa sih sayang?"
Sayup-sayup Dennis dapat mendengar suara mamanya.
"Mama, masa bi Mia gak mau ngasih tau kak Ayu di mana?"
Langkah Dennis terhenti di pintu dapur. Ia dapat melihat wajah bertekuk sang adik.
"Una, mama kan udah bilang kalau kak Ayu kamu itu ikut orang tuanya."
Ke mana? Kenapa Dennis tidak tahu?
"Ke mana? Jadi Una gak akan ketemu kak Ayu lagi?" tanya Una mengambil kue buatan sang mama yang baru dipindahkan dari open.
"Ya mana mama tau, kemarin bi Mia cuma bilang itu."
"Ih, mama harusnya tanyain dong!"
Firda menghela nafasnya. "Bukannya kamu nanyain juga gak dijawab? Ayo udah berapa kali kamu nanya ke bi Mia?"
Dahi Ratuna mengernyit, kemudian jemarinya bergerak untuk menghitung. "Baru empat, Ma."
Dennis yang sejak tadi memperhatikan mendengkus. Hal tersebut membuat sang adik menoleh. Matanya berubah tajam dan menunjuk ke arahnya. "Ini semua gara-gara kak Dennis!"
"Lah? Kok malah gue?"
"Dennis! Yang sopan yang bicara sama adik kamu." tegur Firda. Peraturan dalam rumah tidak boleh ber'gue-elo' dan mengatakan kata kasar lainnya meski Dennis paling hobi melanggarnya, apalagi kalau sudah menghadapi sang adik.