Sweet Ambition

Akira Tan
Chapter #18

Bagian 17

Setelah beribu luka yang kau beri, apakah kata maaf saja cukup?

***

Mentari mulai turun ke peraduan. Cahayanya menyorot ke sebuah ruangan di mana seseorang terbaring lemah. Merasakan silau, mata yang tampak sayu tersebut terbuka. Ia hendak bangkit dari tempat tidurnya, tapi rasa ngilu di kepala membuatnya meringis.

Dennis menyampingkan badan, membelakangi jendela. Bermaksud melanjutkan istirahatnya. Namun, suara bising dari kamar sebelah membuatnya mendesis. Bantal yang digunakan untuk menutup telinga tak berfungsi dengan baik. Mengumpat, cowok itu meraih ponselnya.

"Hal-"

"Matiin musiknya Ratuna!" potong Dennis serak. Sang adik malah semakin mengeraskan volume lagunya.

"Una," geramnya.

"Aduh kak Dennis udah deh daripada marah-marah mending kakak tidur aja."

Dennis menghembuskan nafas berusaha menguasai diri. "Ratuna sayang, kakak kamu lagi sakit, jadi tolong jangan berisik."

"Lebay banget sih kak. Nyakitin kak Ayu aja kuat, masa keujanan dikit langsung tepar. Dasar lemah!" ledek Ratuna membuat Dennis menjatuhkan rahangnya. Entah darimana sifat menyebalkan adiknya menurun. Dennis tidak semenyabalkan itu, kan?

"Una, kakak bilang mama nih!" ancam Dennis.

"Bilang aja, emang Una takut? Wlee. Ngomong aja kayak orang sesek nafas."

Sungguh. Dennis ingin sekali menjual adiknya ke pasar loak. "Ya udah terserah! Kamu emang gak sayang sama kakak. Malah keliatan seneng banget kakak sakit."

Dennis sangsi adiknya akan luluh.

"Dih pundungan. Una seneng bukan karena kak Dennis lagi sakit yah, tapi-"

Cowok itu mematikan sambungan karna kepalanya bertambah ngilu. Tak lama kemudian musik terhenti. Dennis baru akan menyelami mimpinya, tapi pintu yang dibuka sembarangan membuatnya kembali terjaga.

"Aden baby!"

Mengumpat, Dennis menutup kedua telinganya. Kakinya yang ditindih seseorang membuat cowok itu terpaksa membuka mata.

"Kamu gak papa baby?" tanya si pelaku melihat Dennis memegangi kepalanya yang terasa berputar.

"Ngomong gitu sekali lagi gue cekik lo!" ancamnya. Dennis meratapi nasibnya yang memiliki sahabat seperti Lino.

"Ih baby masih aja gal-"

"Marlino!" Bukan Dennis, melainkan Davian yang sudah memberikan tatapan penuh peringatan. Lino mencebik, lalu naik ke kasur untuk duduk di samping Dennis, berbaik hati memijit kepalanya. "Sorry deh, gue bercanda. Lagi sakit masih aja galak."

Dennis mendengkus, melirik Radit dan Diran yang sedang mengotak atik kameranya.

"Gimana keadaan lo sekarang?" tanya Davian yang duduk di ujung ranjang.

"Keliatannya aja gimana."

Kan? Dennis memang semenyebalkan itu.

"Dir, tutup gorden dong tolong." pintanya. Diran dengan malas melangkah untuk menutup gordeng. Namun, cowok itu malah berdiri di sana memandangi sesuatu.

"Dir!"

"Iya iya, sabar." Diran dengan terpaksa melakukan titah baginda raja.

"Kalian ke sini gak bawa apa-apa?"

"Dih, udah ditengokin juga harusnya bersyukur," timpal Lino menekan pijatan pada kepalanya hingga Dennis meringis. "Sakit bego!"

"Asal lo tau ya Den, sebenernya kita gak niat ke sini, tapi si Radit yang ngajak katanya sekalian."

Ucapan Diran membuatnya menjauhkan kepala. "Sekalian? Emang kalian abis dari mana?"

"Ya kita abis ket-adaws kena mata gue!" Diran meringis saat Davian refleks melempar bantal hingga mengenai wajahnya.

"Abis ngapain?" Dennis menatap curiga. Kalau yang beraksi Davian atau Radit, berarti ada sesuatu yang serius.

"Itu tadi ab-aws kepala gue," rintih Diran lagi. Radit tahu-tahu sudah ada di sampingnya. "Lo kenapa mukul kepala gue sih? Ampun deh, gue salah apa sama kalian?"

"Mulut lo tuh yang harus disalahin," sahut Lino.

"Ada yang kalian sembunyiin?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Dennis membuat mereka bungkam. Tentu dengan mata saling melempar isyarat. Tatapannya tertuju pada Davian yang menatap ke arah jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, pulang yuk!"

"Yan, jangan ngalihin topik. Gue gak sebodoh itu buat-"

"Kita gak nyembunyiin apapun," potong Davian. "udahlah mending lo istirahat biar cepet sekolah lagi."

"Davian bener. Kita balik," pamit Radit menarik Diran yang mencebik sebal.

"Yan!" panggilnya berharap mendapat jawaban. Davian yang sudah berada di ambang pintu menoleh. "Sembuhin dulu fisik lo."

Setelahnya pintu tertutup dengan sempurna.

Lihat selengkapnya