Sweet Ambition

Akira Tan
Chapter #20

Bagian 19

Apa aku harus menyerah secepat ini?

***

"Ya ampun keren banget sih mereka?"

Lengkingan Renata membuat orang di sebelahnya menggelengkan kepala. Kebetulan bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu. Namun, Diran malah mengajaknya untuk nongkrong di kantin, menghabiskan sisa makanan bu Wati katanya.

Sebenarnya Renata sempat menolak melihat sosok Dennis bersama cowok itu, tapi bermodalkan kata teraktiran, akhirnya ia luluh juga.

"Udah deh, Re. Lo udah muter itu puluhan kali, gak bosen apa?" tegur Diran karena cewek itu mengabaikan makanan yang dibelikannya, malah terus menonton dance cover Cessa dan Zian yang baru saja diunduh pagi tadi.

"Abis mereka keren banget, cocok lagi. Coba deh lo baca komentarnya, banyak yang nge-ship mereka."

Renata sangat sadar kalau ucapannya membuat Dennis hampir tersendak. Cowok itu menatapnya sinis, tapi memang dasarnya Renata sudah terlanjur sebal, jadi ia malah balik menantang dengan menaikan sebelah alisnya diiringi seringaian tipisnya.

"Re." Diran menyentuh jemarinya, memandang lembut. "Simpen dulu ponselnya, mie ayamnya nanti keburu gak enak."

Renata yang biasanya akan protes malah mengangguk kaku, wajahnya tampak memerah. Diran kemudian beralih pada sahabatnya yang tampak badmood.

"Apasih? Gak usah natap kayak gitu," protes Dennis saat mendapat tatapan simpati Diran. Ia meneguk air mineralnya lalu berdiri setelah menyampirkan tas ke pundak. "Gue pergi, udah ditungguin anak-anak."

Diran mengangguk, sedang Renata bersikap tak acuh, membiarkan cowok itu melangkah menuju ruang fotografi.

Dennis mengambil ponsel dan membuka video yang dimaksud Renata. Sejak pagi ia sudah mendengar pujian yang dilontarkan para sahabatnya, tapi Dennis menahan diri untuk tidak melihat. Namun lama-lama ia jadi penasaran, sehebat apa cowok bernama Zian itu.

Tidak bisa Dennis pungkiri kalau cowok itu memiliki skill yang bagus selain wajah tampannya.

"Mereka kenapa pegang-pegangan segala?" gerutu Dennis merasakan panas dalam dadanya. Ia lalu menyimpan ponselnya sambil menggerutu sepanjang jalan.

***

Dennis melajukan kendaraannya cepat. Hawa dingin akibat hujan yang baru saja reda membuatnya mengigil, ia lupa tidak membawa jaket. Dennis memelankan motornya melihat Cessa berbincang dengan seseorang. Cewek itu tampak cantik dengan balutan dress berwarna peach. Kontras dengan warna kulitnya yang putih.

Menyadari keberadaannya, Cessa menoleh dan terkesiap sebelum kemudian memalingkan muka. Dennis dibuat penasaran dengan cowok yang kini membelakanginya. Hingga ketika orang tersebut berbalik hendak memasuki mobil, Dennis merasa kesulitan bernafas.

Caraka. Pacar Cessara yang hampir ia lupakan keberadaannya. Perasaan tidak suka menyelimutinya. Mereka mau ke mana dengan pakaian yang begitu rapi?

Suara klakson mengejutkannya. Cessa memandangnya sinis lalu memasuki mobil Caka yang melaju meninggalkan kompleks perumahan.

"Woi lagi ngapain? Oi!"

Dennis menatap tajam Ratuna yang cengengesan di atas sepedanya.

"Woi awasin motornya, mau masuk ini!" ucapnya lagi membuat Dennis semakin berhasrat untuk menjitak kepala sang adik.

"Adik gak sopan, bukain dulu dong gerbangnya!" suruh Dennis hingga Ratuna merengut. Kakaknya tidak akan mau mengalah.

Dennis membawa motornya setelah membunyikan klakson keras membuat Ratuna terkejut bukan main.

"Kak Dennis ih! Kaget tau!"

"Biarin wlee!" balas cowok itu memasuki rumah diikuti adiknya yang bersiap mengadu pada sang mama.

***

Dennis merapatkan jaketnya, melirik jam di ponsel. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu dan Cessa masih belum pulang padahal hari sudah malam. Mia bilang, Cessa sedang mewakili kedua orang tuanya memenuhi undangan pesta.

Deru kendaraan membuatnya mendongkak. Ia mengernyitkan dahi melihat cewek itu turun dari gojek. Wajahnya terlihat begitu lelah. Bukankah Caka bertanggungjawab mengantarkannya pulang?

Masih belum menyadari keberadaannya, Cessa memasuki halaman, menaiki tangga teras rumah dengan pikiran melayang. Ia hampir terpeleset kalau saja Dennis tak segera meleset untuk memegangi lengan cewek itu.

"Hati-hati."

Mata Cessa membeliak, segera menghempaskan tangan cowok itu dan menjauh. "Ngapain di sini?"

"Ca." Dennis berusaha mendekat, tapi Cessa segera meraih knop pintu.

"Ca, maafin gue," ujarnya menahan lengan Cessa yang kini mendengkus. "Lo gak lupa 'kan apa yang gue bilang kemarin? Kalau mau dapat maaf, jangan ganggu gue lagi."

"Gimana gue yakin lo udah maafin gue Ca, kalau-"

"Stop!" tegas Cessa. "Lo gak berhak manggil gue dengan nama itu tuan Raden Niswara Pratama!"

Seketika ia merasakan panah yang menusuk ke dadanya. Dennis meraih tangan Cessa yang bebas, menggenggamnya. Tak lupa dengan tatapan tulus yang ia berikan. "Gue bakal lakuin apapun biar lo mau maafin gue, tapi tolong jangan suruh gue jauhin lo. Gue gak bisa, Ca."

Cessa memandangi tangannya yang berada dalam gengaman Dennis. Andai saja hatinya tak terlanjur patah, mungkin ia masih bisa memaafkan cowok itu seperti yang sudah-sudah.

"Lepasin," pintanya dengan suara rendah. Ayolah, Cessa merasakan tubuhnya sangat lelah, apalagi tadi ia sempat berdebat dengan Caka hingga ia diturunkan di pinggir jalan.

"Lepasin, Aden!" ucapnya lagi. Dennis mendelik tak suka mendengar panggilan tersebut. "Gue capek, tolong biarin gue masuk."

"Enggak sebelum lo-"

"Nanti Caka bakal marah kalau tau!" Cessa berucap dengan nada cepat. "Iya, dia cemburuan. Jadi tolong lepasin tangan gue."

Katakan kalau Cessa salah saat melihat kilatan kecewa di mata Dennis. Cekalan di tangannya terlepas. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Cessa berbalik untuk memasuki rumahnya. Namun pertanyaan yang dilontarkan membuat langkahnya terhenti.

"Apa alasan lo ganggu hidup gue selama ini?"

Cessa mencengkram knop pintu dengan erat. Dalam satu tarikan nafas membalas ucapan cowok itu. "Harus gue ulang berapa kali lagi? Gue ngelakuin itu karena gak mau liat lo bahag-"

"Bohong!" potong Dennis tegas.

Cessa memejamkan matanya sejenak. Berusaha tak terpancing. "Ya udah gak usah percaya."

Segera memasuki rumah, Cessa mengambil ponselnya, mengirimkan pesan pada cowok yang masih ada di balik pintu. Ia rasa apa yang dilakukannya sudah tepat.

Lihat selengkapnya