Sweet Ambition

Akira Tan
Chapter #22

Bagian 21

Mereka, para orang dewasa selalu mengagungkan kata 'demi kebaikan' tanpa menyadari satu hal. Mereka mengabaikannya. Menganggap itu masalah sepele.

Ya, ini hanya tentang perasaan yang bagi mereka tak lebih penting dari apapun, bahkan air mata sekalipun.

***

Cewek itu menuruni tangga sambil bersenandung kecil. Kehadiran kedua orang tuanya yang jarang berada di rumah membuat senyumnya mengembang. Setidaknya mereka mampu mengalihkan pikirannya yang sejak kemarin terus tertuju pada tetangga depan rumahnya.

"Pagi ma, pa!" sapanya mendudukan diri di kursi ruang makan.

"Pagi juga sayang," balas sang mama. Sedang lelaki paruh baya yang sedang menerima telepon hanya mengangguk, lanjut berbicara dengan sekertarisnya. Masih pagi tapi udah sibuk. Gerutunya dalam hati.

"Kamu berangkat sama siapa? Dijemput Caka?"

Kunyahannya terhenti. Cessa kemudian menggeleng. "Sama Zian."

"Zian? Siapa lagi?"

Cessa dapat menengar nada tak suka dari mulut mamanya. Bahkan wanita itu sempat melirik sang papa yang tampak tak acuh.

"Cuma temen, ma. Gak usah khawatir. Lagian aku sama Caka beda sekolah. Yang ada entar dia kesiangan kalau harus jemput aku." Cessa memberi alasan yang masuk akal, padahal ia sendiri tidak peduli Caka akan bolos sekalipun.

"Sukurlah," gumaman penuh kelegaan tersebut membuatnya mendesah pelan. Mamanya tidak tahu bagaimana ia menahan diri bersikap baik-baik saja setiap menyebut nama cowok bermuka dua itu.

Selesai sarapan, Cessa langsung pamit pada kedua ornag tuanya karena Zian sudah menunggu.

"Oh iya Ca, nanti dari sekolah jangan ke mana-mana dulu, langsung pulang."

Cessa hendak bertanya, tapi sang mama sudah menjelaskan terlebih dahulu.

"Kakek kamu, katanya beliau kangen."

Cewek itu refleks menoleh pada sang papa yang hanya mengangguk diiringi senyum singkatnya. Namun, Cessa dapat menangkap raut sendu di sana. Ia akhirnya hanya menjawab dengan gumaman pelan, lalu beranjak. Cessa masih sangat ingat terakhir kali mamanya mengajak berkunjung ke rumah sang kakek. Kunjungan yang membuatnya terjebak dalam perjodohan konyol bersama Caraka.

Cessa harap kali ini tidak akan terjadi hal apapun. Yah, semoga firasatnya salah.

"Sorry ya, lama." Cessa menghampiri teman sekelasnya yang menggelengkan kepala. Ia baru selesai mengenakan helm ketika mendengar pintu gerbang dari rumah di depannya terbuka. Cessa tertegun seketika mendapati Dennis keluar dari sana masih dengan perban yang membalut lengannya.

Cowok itu sempat membeku sebelum kemudian melengos. Beruntung beberapa detik setelahnya Radit datang dan tanpa basa basi, Dennis mendudukan diri di boncengan.

"Oi duluan!" ucap Radit menyadari keberadaan temannya tersebut. Sedang Dennis malah mendelik, bahkan langsung membuang muka saat motor yang dikendarai sahabatnya melewati mereka.

"Lo kok gak bilang itu rumah sohibnya Radit?" tanya Zian saat baru melajukan motornya.

"Gue pikir gak penting." Nada ketus cewek itu membuat Zian meliriknya lewat kaca spion. "Mm cowok tadi ... gak asing."

Cessa memicingkan matanya, siap menyemburkan amarah jika Zian mengatakan hal yang tidak disukainya.

"Dia yang dulu nungguin lo bukan sih? Yang pas pertama gue nganter lo pulang."

Terdengar dengkusan dari cewek itu. "Lo kalau ngajak terus ngobrol yang ada ada kita bakal kesiangan."

Zian tahu kalau temannya hanya sedang mengalihkan topik. Baiklah, untuk saat ini mari biarkan Cessa mendapatkan apa yang diinginkannya.

***

Untuk kali kesekian Cessa menghembuskan nafasnya. Sikap Dennis pagi tadi membuatnya kepikiran. Cowok itu tampak kesal padanya. Apa karena ucapan kasarnya kemarin?

Tapi ... kenapa Dennis memaksakan diri masuk sekolah dengan keadaan seperti itu? Cessa berdecak, menatap ponselnya yang memperlihatkan chat dari Radit..

Radit: Dia dari pagi diem terus

Radit: Jealous kayaknya liat lo sama Zian

Cessa: Lo ngomong apasih, Dit?

Cessa bingung mau membalas apa. Ia juga masih sulit percaya bahwa cowok itu memiliki perasaan lebih padanya.

Lihat selengkapnya