Apakah kamu mencintainya?
***
Satu minggu telah berlalu. Hubungan Dennis dan Cessa masih sama. Tidak ada perkembangan sama sekali. Dennis yang memilih memulihkan keadaannya dan memikirkan kembali perasaannya. Ia cukup kecewa dengan Cessa. Untuk saat ini, dengan sikap dinginnya ia ingin melihat reaksi cewek itu.
"Cessa tuh!"
Dennis kira, Lino berbohong. Mana mungkin Cessa datang ke sekolahnya. Namun, reaksi dua cewek yang langsung beranjak dari pos satpam membuatnya ikut mengalihkan perhatian.
Benar saja, tak jauh dari tempat nongkrong mereka karena waktu pulang sudah tiba, Cessa turun dari motor Zian. Mereka sempat saling berpelukan, layaknya tiga orang yang sudah lama tidak bertemu. Entah apa yang dibicarakan, karena setelahnya cewek itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Seperti sebuah ... undangan? Dennis menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Ia pikir hari ulang tahun Cessa masih tiga bulan lagi.
Ia tidak dapat mendengar pembicaraan mereka karena suara bising dari kendaraan yang berlalu lalang. Namun, dahinya kini mengernyit melihat raut muka ceria Davina dan Renata yang berubah terkejut setelah membaca sesuatu di genggamannya. Berkebalikan dengan Cessa, entah tulus atau tidak, hanya saja Dennis merasa tawa cewek itu seperti dibuat-buat.
Cessa terlihat menggelengkan kepala dengan sebelah tangan mencengkram lengan cowok yang masih duduk di motornya. Hingga saat tatapan cewek itu mengarah padanya, Cessa tampak tertegun bahkan tak melanjutkan ucapannya. Meski hal tersebut hanya berlangsung sejenak karena Cessa kembali mengalihkan perhatian pada kedua sahabatnya.
Cewek itu berlalu setelah melemparkan senyum pada Davian dan yang lain, kecuali pada dirinya tentunya.
Seperginya cewek itu, Davina dan Renata masih memasang muka sedih hingga keduanya berjalan ke tempat semula.
"Abis ngapain si Incess? Tumben ke sini." Lino menghampiri Renata yang memegang tumpukan undangan di tangannya. "Undangan? Dia ulang tahun?"
Renata melirik Davina yang menggeleng lemah. Cewek itu tidak mampu berkata-kata. Tanpa menunggu jawaban, Lino menarik kertas tersebut melihat nama para sahabatnya yang tertera tanpa membaca tulisan besar yang tertera di sana.
"Wah gue juga diundang," kekehnya lalu menyodorkan pada Diran, "Nih buat lo, Adiran."
Diran langsung mengambilnya tak kalah antusias.
"Ini buat Raditya, Davian, ada Samudera juga. Lah?" Lino melirik Dennis dengan tatapan tak enak. "Nama lo gak ad-"
"No." Suara lirih Davian membuatnya menoleh. "Apa? Nama lo salah di sana?"
Davian menggeleng, raut mukanya benar-benar memperlihatkan bahwa sesuatu yang baru saja ia ketahui adalah berita buruk.
Radit dan Diran segera melihat undangan di tangan mereka. Mata keduanya membola.
Engangement
Cessara & Caraka
"Haha, gue gak salah baca 'kan ini?" tanya Diran menatap Dennis yang entah sejak kapan sudah merebut kartu undangan dari tangan Davian.
Cowok itu membeliakan mata lalu menatap Davina dan bertanya dengan nada bergetar. "Ini bohong, kan? Gue tau kalian pasti sekongkol buat bales gue."
Davina menggelengkan kepala. "Kita bahkan gak tau apapun."
Cowok itu meremas kartu di genggamannya, melempar asal. Radit baru hendak menyentuh bahunya, tapi Dennis sudah berjalan ke arah motornya. Raut wajahnya memerah menahan amarah.
"Mau ke mana lo?" Lino menghalangi langkahnya. Namun, Dennis yang sudah terlanjur kesal menyingkirkan tubuh sahabatnya kasar.
"Woi, santai dong! Gue cuma nany-"
"BALIK!" bentakan cowok itu membuat mereka terkesiap. Terlebih Lino yang langsung berjengkit sambil mengusap dadanya.
Tak peduli dengan respon mereka, Dennis menaiki motornya dan melajukan dengan cepat. Beberapa kali ia hampir menabrak kendaraan lain. Dennis tak peduli. Dadanya terkoyak mengingat dua nama yang satu minggu lagi akan saling menyematkan cincin di jari manis masing-masing.
Dennis menghentikan motornya sembarang. Bukan untuk menghampiri Cessa, melainkan mengeluarkan semua amarah yang terasa akan meledak.
"Argh! Sialan!" Cowok itu menendang pohon di sebelahnya. Merasa sakitnya tidak berkurang, ia beralih melampiaskan dengan tangannya hingga buku-buku dari jemarinya berdarah.
Mendengar derap langkah yang mendekat, Dennis berbalik, menatap nyalang pada dua cowok yang meringis dan kembali mundur.
Diran mengangkat kedua telapak tangannya. "Kita nunggu di sana." Tunjuknya menarik Lino menjauh.
Cowok itu mendengkus, mengambil sebuah batu dan melemparkan ke danau di depannya. Ia tidak menyangka kalau Cessa akan menghancurkannya sampai sedalam ini.
Dennis meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang yang membuatnya ingin meneriakan banyak umpatan. Meski sepertinya Cessa sengaja mengabaikannya. Tak pantang menyerah, Dennis terus berusaha menghubungi, hingga dipanggilan kesekian cewek itu menerima panggilannya.
Tak ada suara, namun Dennis tahu cewek itu akan mendengarkan ucapannya.
"Puas? Ini kan yang lo mau Cessara?" tanyanya tanpa aba.
Terdengar helaan nafas cewek di seberang sana. Cessa menjawab dengan nada dingin. "Maksud lo apa?"
"Lo sengaja lakuin ini buat bales rasa sakit hati lo," ucap Dennis emosi.
Hening sejenak.
"Kalau iya kenap-"
"Selamat!" potong cowok itu. "Selamat karena elo berhasil."
"Y-ya?"
"Gue kira, dengan diamnya gue beberapa hari ini lo akan sadar. Seenggaknya lo kasih gue kesempatan buat perbaikin semuanya, ngebuktiin kalau gue beneran serius sama ucapan gue yang sayang sama lo bahkan- hh," Dennis mengusap wajahnya kasar. Ia pikir tidak akan merasakan sakit lebih dari ketika ia menyadari betapa dirinya kehilangan Cessa saat pergi tanpa kabar. Namun, ada yang lebih menyiksanya sekarang. "Ternyata gue salah. Lo pikir dengan lakuin ini gue bakal diem aja? Enggak! Gue bahkan gak percaya dengan kartu undangan sialan itu."