Sweet Ambition

Akira Tan
Chapter #24

Bagian 23

Aku hanya mencinta

Tapi mengapa kau bersikap seolah aku pendusta?

***

Cessa memandangi makanannya dengan tak berselera. Chat yang dikirimkan padanya kemarin membuat cewek itu tidak bisa melakukan apapun dengan baik.

Or do yo love me?

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Seharusnya tidak begini. Niatnya adalah menata hidup baru tanpa seorang Dennis, tidak seharusnya ia kembali terjebak dengan perasaaanya terhadap cowok itu.

"Lo kenapa sih? Galau terus dari kemarin," ucap Adisti tampak keheranan. Jelas saja, Cessa harusnya terlihat ceria karena sebentar lagi akan bertunangan.

"Dis, katanya cinta bisa datang seiring berjalannya waktu. Berapa lama waktu yang dibutuhin buat itu?"

Adisti mengernyit, sesuatu tiba-tiba melintas dipikirannya. "Lo gak cinta sama Caraka?"

Cessa terkesiap. Ia kemudian menegakan tubuhnya yang menegang. "Kenapa lo bisa berpikiran ke sana?"

"Lo keliatan murung sejak ngasih undangan itu."

Cewek itu tidak mengelak, tidak pula mengiyakan.

"Zian juga bilang ke gue. Pas dia nemenin lo ngasih undangan, lo kayak bukan orang yang mau handepin hari bahagianya."

Apa sebegitu terlihat?

"Mau cerita?" Tawaran tersebut membuatnya tergoda. Cessa tidak bisa jujur pada kedua sahabatnya karena takut mereka keceplosan. Jika Dennis tahu pasti akan berbuat nekat.

"Gue-" Cessa tampak ragu, tapi senyum hangat Adisti meyakinkannya. "Gue gak cinta sama Caka. Gue ... cinta sama cowok lain," ujarnya tercekat. Sesuatu yang berat terasa menekan dadanya hingga sesak.

Mata cewek di depannya membeliak. "Terus kenap-" Adisti terdiam sejenak, tampak terkejut sendiri. "Apakah ini perjodohan yang kayak di film-film itu?"

Cessa mengangguk lesu.

"Apa lo gak bisa bilang ke ortu lo? Mereka mungkin ngerti."

"Sulit," jawabnya menatap beberapa orang yang berlalu lalang. "Ini tentang kehidupan banyak orang. Perusahaan yang udah kakek gue rintis dari nol hampir bangkrut dan lo taulah kelanjutannya kayak gimana."

"Terus cowok yang lo suka?"

Cessa tertawa sumbang. "Dia cowok yang dulu sangat membenci gue dan ingin gue pergi karena segitu muaknya. Dia udah hancurin hati gue. Dia juga salah satu penyebab gue berada di sini, Dis." Cessa mengambil tisu di depannya untuk menghapus cairan bening yang menetes ke wajah ayunya. "Gue gak bisa percaya gitu aja saat dia berbalik ngejar-ngejar gue dan bilang kalau dia sayang sama gue. Omong kosong!"

Mendengar itu, Adisti mengusap punggung tangannya prihatin. Ia jadi ikut terhanyut dalam kesedihan Cessa. "Terus gimana reaksi dia pas tahu lo mau tunangan?"

"Kata sahabatnya gue, dia terluka banget. Dia bahkan nungguin gue di depan rumah sampai malem. Gue takut, Dis. Kalau gue korbanin mereka cuma buat dia yang mungkin gak secinta itu sama gue." Nada suaranya terdengar bergetar. Semakin dibeberkan, rasa sakitnya kian bertambah. "Gue bodoh banget, udah disakitin berkali-kali tapi tetep gak bisa benci sama dia."

Adisti ikut berkaca-kaca mendengarnya. "Ces, udah jangan nangis."

Cewek itu terkekeh sembari menghapus air mata yang mengalir. "Gue mulai capek pura-pura." Ia menatap Adisti dengan tatapan putus asa. "What should I do, Dis? I love him."

***

"Ke mana lo?"

Radit memegangi ujung seragamnya saat Dennis hendak beranjak. Kebetulan sang guru sedang mengambil hasil ulangan minggu kemarin untuk dibagikan.

"Bawain tas gue balik!" pinta Dennis. Radit yang tak puas dengan jawabannya menarik lebih keras hingga dirinya hampir terjengkang. "Gue tanya lo mau ke mana? Bel pulang masih lima belas menit."

Dennis menyentakan tangan cowok itu. "Gue mau nemuin dia."

Tahu siapa orang yang dimaksud sahabatnya, Radit berdecak. "Gerbang sekolah masih dikunci."

"Gue sengaja nyimpen motor di warung mbak Indah."

Kalau sudah seperti ini, Radit tidak bisa menahan cowok keras kepala itu untuk tetap tinggal. Dennis mengambil kertas photocopy-an dari atas meja untuk dijadikan sebagai alasan dirinya pergi.

Radit menghela nafas. "Hati-hati. Gue gak mau denger kabar lo kecelakaan lagi."

Mengangguk, Dennis segera berjalan ke luar kelas. Untuk masalah kehadirannya, Radit atau Diran bisa mengatasi itu, lagian bel sebentar lagi berbunyi.

Di gerbang sekolah ia sempat diintrogasi, Dennis memperlihatkan kertas di genggamannya, mengatakan hendak mem-photocopy keluar sekolah karena koperasi penuh. Beruntung kebohongannya dipercaya dan pintu gerbang dengan mudah terbuka.

Dennis mengambil motornya hingga sampai sekolah Cessa. Para siswa tampak berhamburan keluar dari gerbang yang baru dibuka. Beberapa dari mereka sempat melirik ke arahnya. Mungkin penasaran dengan keberadaan siswa dari SMA tetangga.

Lihat selengkapnya