Sulit sekali membuatmu berkata jujur
***
Cessa mengendap-endap melewati pintu belakang sekolah karena di gerbang depan sudah ada Caka yang menunggunya.
Sebuah deheman membuat langkahnya terhenti. Cessa yang menoleh ragu kini membeliak mendapati Dennis berdiri tak jauh darinya.
"Mau kabur lagi?" tanya cowok itu dengan mata menyipit. Ia kesal karena beberapa hari ini Cessa terus mengajaknya bermain petak umpet.
Tak menjawab, Cessa malah memandangi wajah cowok di depannya. Luka lebam bekas pengeroyokan beberapa hari lalu terlihat samar. Mengerjap, ia melanjutkan langkah. Namun Dennis dengan sigap meraih jemarinya. "Lo gak bisa pergi gitu aja."
"Gue mau pulang," ujarnya datar.
"Sama gu-"
"Sendiri!" potong Cessa tegas, berusaha melepaskan diri meski gagal. "Lepas gak?"
"Enggak!" Dennis menjawab dengan mantap.
"Lepas!" pinta Cessa lagi.
Cowok itu tetap pada pendiriannya. "Enggak, Cessara!"
"Radennis lepas!"
"Engg- aws!" Dennis mengaduh merasakan injakan keras di kakinya. Cewek itu berlari menjauh. Melihat Cessa menaiki angkutan umum, ia segera berlari ke arah motornya. Tidak akan membiarkan cewek itu kabur lagi.
Tidak jera pernah mengalami kecelakaan, Dennis melakukan kendarannya dengan cepat. Angkot yang dinaiki Cessa berhenti di depan kompleks. Tak lama cewek itu turun dan berlari kecil memasuki area perumahan.
"Ca, berhenti!" teriakan Dennis membuat dua satpam kompleks menoleh bersamaan.
Cessa sengaja menulikan telinganya dan terus berlari. Sayangnya, motor Dennis berhasil melewatinya dan berhenti di rumah Cessa.
Cowok itu menyeringai lalu turun dari motornya, menghampiri Cessa yang menggeram kesal karena usahanya sia-sia. "Udah gue bilang, gue gak akan nyerah Cessara."
"Awas! Gue mau masuk." Cessa mencoba menyingkirkan tubuh Dennis, tapi cowok itu malah meraih tangannya. "Mau sampe kapan begini terus, Ca? Gak capek?"
Cessa memberanikan diri membalas ucapan Dennis. "Lo juga gak capek terus ganggu hidup gue?"
Dennis tersenyum tipis. "Lo gak ngerasa terganggu. Lo cuma takut pertahanan yang lo bangun hancur."
Cessa menelan ludahnya. Apa yang dikatakan cowok itu memang benar. Ia takut perasaan cintanya kembali menciptakan luka. Ia juga seperti berada dalam jeruji tak kasat mata. Ikatannya dengan Caka membatasi setiap pergerakannya.
"Jujur aja ... gue capek Ca," lirih Dennis menatapnya dalam. "Beberapa kali gue hampir nyerah."
Jangan! Ingin sekali Cessa mengatakan itu, tapi apalah daya, memang seharusnya Dennis menyerah.
"Tapi ngeliat air mata lo di malam pertunangan itu, sikap kasar Caraka, dan kekhawatiran lo kemarin lusa, itu ngebuat gue semakin yakin buat terus berjuang."
Cessa memalingkan muka, berlagak merapihkan tambutnya padahal tengah menghapus sesuatu dari ujung matanya.
Dennis merangkum wajah Cessa, memaksa untuk menatapnya. "Lo masih cinta sama gue, kan?"
Mengerjapkan mata, Cessa menggeleng cepat.
"Jujur Cessara," tekan Dennis karena cewek itu terus saja mengelak. "Lo gak bahagia 'kan sama Caka?"
Tolong siapapun, bawa Dennis pergi atau pertahanan Cessa akan runtuh. Ia benar-benar tersiksa dan rasanya memuakan.
"Pergi, gue mohon." Cessa merutuki nada suaranya yang bergetar.
"Ke mana gue harus pergi kalau bayang-bayang lo selalu hantuin gue?" tanya Dennis, tak peduli lagi dengan pandangan Cessa terhadapnya. "Tatap mata gue dan ucapkan dengan tegas kalau lo gak cinta sama gue."
Bibir cewek itu bergetar, tampak berat mengatakan apa yang Dennis minta.
"Gue ... gue gak cinta sama lo."
Dennis tidak percaya, tangannya bergerak menghapus cairan bening yang keluar dari mata Cessa. "Oh ya? Lalu kenapa lo nangis?"
Tak menjawab, Cessa malah terisak. Sudut hatinya terasa ngilu.
"Cessara ... please, don't lie to me!" Dennis tidak dapat menghitung berapa banyak teriakan yang mereka keluarkan. "Jujur Cessara, mau sampai kapan kayak gini? Sampai kapan lo hukum gue, Ca?!"