Perlahan dan pasti
***
Cessa mengurung diri di kamar sejak kemarin sore. Bahkan ia tidak mau berangkat ke sekolah. Sang mama sudah berusaha memintanya untuk membuka pintu, tapi Cessa bersikeras tidak mau. Hingga akhirnya ia baru mau keluar kamar setelah Rudi membujuknya.
"Makan yang banyak, dari kemarin kamu gak makan apapun," ucap sang papa. Cessa mengangguk lalu melirik Marisa dengan takut. Papanya berbohong, mengatakan sang mama sedang tidak ada di rumah.
"Jadi, laki-laki yang kamu su-"
"Ma," sanggah Rudi. "Jangan sekarang."
Marisa menghembuskan nafas, memperhatikan putrinya yang tampak ketakutan.
"Kalau sudah selesai makan langsung mandi, jangan kunci pintu kamar kamu, kita perlu bicara."
"Ma-"
"Pa, sudah cukup kita kasih dia waktu," potong Marisa. "Lebih cepat lebih baik."
Perdebatan keduanya membuat Cessa menelan nasinya cepat, kemudian berdiri dari duduknya. "Aku udah kenyang."
Cessa menaiki undakan tangga menuju ruangan tercintanya. Memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan saat keluar, ia mendapati sang mama sudah duduk di pinggiran tempat tidur, menunggunya.
"Sini duduk." Marisa melambaikan tangan. Dengan ragu ia mendekat, duduk di samping wanita yang melahirkannya. Sang mama mengambil sisir, merapihkan rambutnya yang sedikit basah. "Gak kerasa, anak mama udah besar."
"Itu karena mama jarang di rumah." Jawaban yang dilontarkan putrinya membuat Marisa tersentil. "Mama terlalu sibuk sampai gak pernah tau gimana keadaan Eca. Apakah Eca lagi sedih atau seneng, sekalipun mama gak pernah nanya."
Cessa tahu ucapannya menyakiti sang mama, tapi ia sedang tidak mau peduli.
"Maaf." Marisa menatap lembut putrinya. Rasa bersalah begitu nampak di matanya. "Maafkan karena selalu meninggalkan kamu."
"Eca selalu maafin kalian meski-" Cessa menghapus sesuatu dari ujung matanya. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya terluka oleh keputusan kedua orang tuanya.
Tahu ke mana arah pembicaraanya, sang mama menggenggam jemarinya. "Jawab pertanyaan mama dengan jujur," pinta wanita itu yang berubah menatapnya serius. "Yang Dennis bilang kemarin tentang Caka, apa bener?"
Cessa tak menjawab, malah menundukan wajah.
"Cessara, bilang ke mama kalau Caka selalu memperlakukan kamu dengan baik." Marisa beralih merangkum wajahnya. Namun, Cessa malah terisak. "A-apa mama bakal percaya kalau Eca bilang jujur?"
"Ca-"
"Bukannya selama ini dipikiran mama, Caka selalu benar dan Eca yang salah?" Cessa berharap mamanya akan percaya kali ini. Setidaknya ucapan Dennis cukup berpengaruh.
"Ces-"
"Apa harus denger dari orang lain dulu baru mama percaya?" potongnya lagi membuat Marisa terhenyak. Wanira itu melirik ke arah pintu, di mana suaminya tampak bergeming.
"Iya, semua yang dibilang Dennis bener. Caka suka kasar dan main tangan, pacarnya juga banyak. Tapi ... sepertinya percuma juga Eca jujur, gak bakal ada yang berubah."
Sepasang suami istri itu saling melempar pandangan. Cessa masih tidak menyadari keberadaan sang papa yang berdiri di belakangnya.
"Eca capek mau istirahat, ma." ujarnya kemudian. Marisa mengangguk, membiarkan putrinya membaringkan badan dan memejamkan mata.
"Ca, laki-laki yang-"
"Tolong tutup pintunya dari luar, ma."
Wanita itu menghela nafas, menatap suaminya yang mengisyaratkan keluar kamar. Sebenarnya mereka tidak perlu bertanya setelah mendengarnya kemarin. Namun, Marisa hanya ingin memastikan.
***
Cowok itu mengendap-endap membawa motornya keluar halaman. Peralatan berkendaranya ia pakai dengan lengkap. Helm, sarung tangan, masker, dan jaket. Dennis memakainya tentu untuk menyembunyikan diri dari rasa malunya meski percuma.
Selain terus mendapat ledekan dari Ratuna dan para sahabatnya setelah menceritakan kejadian itu, ada satu orang lagi yang membuat Dennis jengkel. Namanya Vania, tetangga sebelah rumah yang beberapa hari lalu pernah mengomentari foto Cessa di instagram-nya. Cewek yang merupakan mahasiswa semester lima itu selalu menggodanya dengan mengirimkan banyak chat. Bahkan sengaja memutar lagu Pacar Lima langkah dengan sangat keras. Tsk, menyebalkan sekali!
"Loh? Dennis baru mau berangkat sekolah?"
Anjir! Cowok itu terperanjat menyadari siapa yang mengajaknya bicara. Wanita paruh baya yang sedang memegang selang air tersebut menatapnya sambil tersenyum. Seketika Dennis diingatkan pada kejadian memalukan beberapa hari kemarin.
"Em." Dennis menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu mengangguk kaku. "I-iya, tan. Dennis permis-"
"Eh ada Dennis dan calon mama mertua!"
Anying! Dennis tersendak ludahnya sendiri.
"Apasih!" Ia melemparkan tatapan tajam pada Vania, kemudian beralih pada Marisa dan meringis. "Kak Nia cu-cuma be-bercanda, tan. Permisi."
Segera Dennis menstrater motornya dan meleset pergi. Entah cobaan apalagi yang akan menghampiri setelah kebodohannya itu.
Sampai di sekolah, Dennis langsung menuju kelasnya. Di sana Radit dan Diran sudah duduk manis sambil membicarakan sesuatu.
"Tuh anaknya udah dateng!" ujar Diran menciptakan kernyitan di dahinya.
"Apaan?" Dennis duduk menghadap belakang setelah menyimpan tas di atas meja.
"Kata Zian, dia sama Cessa mau ikut kompetisi dance." Radit tanpa banyak bicara langsung memberitahunya.
"Kok gue gak tau?"
"Yeuu! Ini 'kan lagi dikasih tau," decak Diran menggelengkan kepala. Semakin ke sini Dennis jadi lebih menyebalkan seperti Lino. Efek patah hati mungkin?
"Terus lo tau gak Dit, mereka bakal latihan di mana?" tanya Dennis yang tingkat bucinnya mulai tampak.
"Gak tau, entar deh gue tanyain lagi." Radit menepuk bahunya. "Santuy! Gue udah bilang ke Zian buat jagain cewek lo."
"Cewek? Emang udah jadian?" tanya Diran ngakak.